Selasa, 08 Desember 2009

PANDANGAN TERHADAP KEBERADAAN MOSALAKI DITINJAU DARI PERSPEKTIF PEMERINTAHAN


  1. PENDAHULUAN

Kehadiran Mosalaki dapat dilihat dari berbagai perspektif atau cara pandang. Tergantung pada saat mana, dimana, dan oleh siapa. Mosalaki yang kita pahami sebagai suatu model kepemimpinan kolegial (bersama ) dapat diinterpretasi secara subyektif oleh siapapun berdasarkan dimensi atau ukuran tertentu; paling tidak pada waktu kapan, di tempat mana, dan / atau  berdasarkan sudut pandang orang tertentu. Artinya bahwa eksistensi Mosalaki bukan segala-galanya dan juga tidak dapat dianggap sepeleh. Salah satu agenda yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu ( AMATT ) dengan melaksanakan seminar di Desa Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, beberapa waktu lalu,  hendaknya ikut membeerikan kontribusi konstruktif bagi pemahaman terhadap kedudukan dan peran Mosalaki dalam sistem Adat Lio sesuai dengan wilayah hukum adat  ( keulayatanya) dimana ia berada. Dalam konteks pertemuan itu, para pemikir kontemporer dengan aliran post positifistknya mencoba membangun sebuah pemahaman yang interpretatif terhadap eksistensi Mosalaki bersama lingkunganya. Ada apa dibalik keberadaan Mosalaki diantara sistem sosialnya ?, bagaimana kedudukan Mosalaki dalam sistem adatnya ?, Mengapa Mosalaki selalu menjadi perhatian dalam proses pemerintahan, politik, dan pembangunan ? pertanyaan-pertanyaan di atas bukan retorika tetapi akan menjadi batasan bagi pemberian argumentasi yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Hal ini tentunya berangkat dari beberap argumen tasi konseptual kultural antara lain : Mosalaki adalah sebuah pranata yang sah dalam sistem sosialnya, Mosalaki adalah sebuah sistem kepemimpinan kolegial, personafikasi dari sebuah sistem abstrak yang sangat sakral, Mosalaki adalah seperangkat nilai yang perlu digali, dimanfaatkan dan dilestarikan dan segudang argumen lainnya yang sarat makna dan kontekstual.

Secara empirik, Mosalaki berada diantara sekian lembaga politik, lembaga formal pemerintahan, lembaga sosial lainnya yang ikut memberi warna bagi keberadaan, kedudukan dan peranya. Warna kehadiran Mosalaki diantara berbagai komponen inilah yang menarik untuk ditelaah secara praktis, manakala ditarik dalam perspektif dari tiga dimensi pokok yaitu ; dimensi waktu, manusia penilai, dan tempat dimana berada. Berdasarkan berbagai cara pandang dan pendekatan untuk menterjemahkan kedudukan dan peran Mosalaki, maka tulisan  ini akan berangkat dari sudut pandang sosiologis, kultural, politis, lalu menukik pada pandangan dari sudut pandang pemerintahan dan pembangunan. Kontreks tulisan ini tentunya merupakan sebuah argumen yang disampaikan secara subyektif, artinya bahwa siapapun Mosalaki, ketika ia ditempatkan dalam konteks tertentu akan memiliki nilai dan makna yang tidak harus sesuai persis dengan esensinya pada momentum dan kesempatan lain. Mari kita menempatkan dia secara proporsional menurut perspektif yang tepat sehingga kesimpulan yang ditarikpun tidak bias makna tetapi kontesktual. "Kura faja no'o lowo-lowo, ro'a loka no'o keli-keli". Katakanlah dalam sistem politik, Mosalaki merupakan bagian atau susb sistem dalam struktur  infra yang kedudukan dan peran sebagaimana Mosalaki dalam sistem Adatnya akan bergeser. Demikian pula dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Kedudukan dan peran Mosalaki akan tidak sepadan dengan kedudukan dan peran sebagaimana dalam konteks wilayah persekutuanya. Lebih jauh tentang ini, dapat diikuti dalam pembahasan di bawah ini.

  1. PANDANGAN TERHADAP EKSISTENSI MOSALAKI.

    1. TINJAUAN DARI  PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Dalam kajian  ilmu sosiologis, umumnya setiap sistem sosial pasti terdiri atas struktur, fungsi dan kultur. Untuk menjalankan ketiga aspek tersebut dibutuhkan berbagai pranata sosial, sebagai wadah yang menampung, membentuk dan melaksanakanya. Secara empiris dan berdasarkan beberapa peniliti adat Lio seperti : Paul Arndt,SVD, P. Sareng Orinbao, Peneliti Jerman Signe Howell, dan Patricia Wackers, bahwa  Mosalaki adalah salah satu lembaga kepemimpinan bersama dan sistem Adat Lio. Dalam bahasa sosiologis disebut kepemimpinan Kolegial atau yang lazim sebut dengan Persekutuan Mosalaki. Sebagai sekelompok pemimpin, atau Dewan Mosalaki, atau persekutuan Mosalaki, keberadaanya tidak sendiri-sendiri atau orang-perorangan baik dalam konteks pemegangan dan pengelolaan kekuasaan maupun dalam pembuatan keputusan. Untuk itu penilaian terhadap jenis kepemimpinan Mosalaki harus tetap dilihat sebagai bentuk kepemimpinan kolegial. Sifat dasarnya adalah model pemimpin genealogis yaitu dipilih dan ditetapkan berdasarkan garis keturunan darah lurus.
Dalam sistem adat Lio, terdapat empat komponen dominan yaitu : pertama : Dua Nggae-Gheta Lulu Wula, Ghale Wena Tana, dan Embu Mamo, sebagai wujud tertinggi penguasa langit dan bumi, kedua : tana watu sebagai simbol kekuasaan secara teritorial, dan wujud pijakan kesejahteraan Ketiga : Mosalaki sebagai agen daripada wujud tertinggi ( Dua Nggae dan embu mamo ) di bumi dengan kedudukan  sebagai pemimpin dan berperan menjalankan berbagai aturan adat yang diyakini sebagai amanah Dua Nggae dan embu mamo. Keempat : "ana kalo fai walu"  sebagai unsur warga adat yang berasal dari satu turunan  suku dan berada dalam suatu wilayah persekutuan adat, yang wajib diayomi sesuai dengan titah sang tertinggi, antara lain untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran melalui pembagian lahan secara adil dan bijaksana. Keempat komponen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Struktur Mosalaki dalam adat Lio dikenal padat fungsi dan terbagi secara samar dalam struktur yang lasim, seperti : ada Mosalaki Pu'u, ada Mosalaki Ria Bewa, dan sebagainya, walau berbeda antar  wilayah persekutuan. Ada pembagian tugas dan peran yang didasarkan pada kedudukan secara historis dan genealogis. Struktur terbagi secara tersamar, karena dipahami bahwa antara Mosalaki tidak saling subordinat ( tidak saling membawahi), tetapi subservient ( saling melengkapi dalam pelayanan  adat ) sesuai tugas pokok dan fungsinya. Dalam prakteknya saling berbagi peran dan tugas sebagaimana terurai menurut sejarah kepemimpinan genealogis Mosalaki bersangkutan. Komunikasi dalam struktur Mosalaki lebih bersifat fungsional ketimbang struktural, sehingga kesan komando tidak ada, tetapi sharing peran dan tugas yang langsung dipahami secara genealogis. Setiap Mosalaki memahami akan kedudukan, tugas dan fungsinya pada setiap momentum adat. Hal ini tidak nampak dalam keseharian tetapi lebih menonjol pada saat upacara adat. Keseharian seorang Mosalaki terikat pada dimensi ruang dan waktu, sehingga statusnya juga kental dengan tempat dimana ia berada ( wilayah persekutuan dan  tana watu), dan kapan terjadi peristiwa adat ( seremoni adat). Dengan demikian ia harus menempatkan diri secara proporsional dengan memperhatikan dua dimensi ini secara ketat . Hal ini perlu dipahami agar status ke-Mosalaki-an tetap memiliki nilai dan makna dimanapun dan kapanpun ia berada. Pengharagaan terhadap nilai ke-Mosalaki- an ini harus tercermin dari ekspresi yang proporsional dengan menjunjung semangat “ kura faja no’o lowo-lowo, roa loka no’o keli-keli”. Dengan demikian Mosalaki tetap mendapat penghormatan yang pantas di luar wilayah adatnya, dan mendapatkan penghargaan yang sepadan pada setiap suasana. Sehingga seorang Mosalaki tidak berpayah-payah mengejar kehormatan atau mengemis penghargaan dari pihak lain ketika berada di luar wilayah adatnya.

    1. TINJAUAN DARI PERSPEKTIF POLITIK

Terdapat suatu proses politik yang juga mengitari kehidupan dalam adat istiadat di wilayah-wilayah persekutuan adat Lio. Namun pembicaraan ini tidak berkisar pada  proses politik  versi adat Lio, antara lain seperti proses dan mekanisme pengangkatan dan pengukuhan Mosalaki ( wake laki ), atau pembuatan kebijakan/keputusan-keputusan, atau juga bagaimana Mosalaki menjalankan fungsi keukasaanya, tetapi  pembicaraan ini lebih memfokuskan diri pada cara pandang secara politis terhadap eksistensi Mosalaki bila ditinjau dari aspek politik formal. Sebagai unsur dari struktur infra dalam sistem politik Nasional, maka kehadiran Mosalaki tidak dapat dinafikan. Praktek-praktek permainan politik praktis telah membuktikan kepada kita semua bahwa kelompok pemimpin adat ini memiliki kedudukan yang strategis, dan sering diberi peran apolitis oleh elit-elit politik untuk menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu. Kecendrungan yang terjadi bahwa Mosalaki sebagai elemen pemimpin masyarakat lokal sering dijadikan alat politik belaka, dan dipaksa untuk menjalankan fungsi-fungsi politik. Fungsi aspiratif, agregatif, komunikasi, dan sosialisasi politik yang harusnya diemban oleh elit politik malahan dibebankan pada kelompok pemimpin ini. Mosalaki kadang harus mengalami degradasi nilai ke-Mosalakian-nya lantaran digerogoti oleh nilai-nilai politik formal yang lebih sekuler dengan tawaran finansial yang menggiurkan. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap kadar pengaruh Mosalaki di mata publik.
Mosalaki secara kelembagaan adalah sub sistem dalam sistem politik  yang dapat menjalankan fungsi interest dan presure politik dalam memperjuangkan aspirasi kelompok masyarakat tertentu, setidak-tidaknya kepentingan masyarakat dalam wilayah persekutuanya. Mereka dapat menjalankan fungsi kulturalnya secara eksternal dengan menerapkan nilai  fungsional yang terkandung dalam syair adat yang melekat bagi jabatan fungsional Mosalaki yakni : " pi'di wiwi - lapi lema, wiwi ria- lema bewa, talu rapa sambu -  tawa rapa rega",   Mereka adalah adalah potensi atau kekuatan dalam menggerakan dinamika politik bangsa. Kedudukan Mosalaki yang tidak dapat dipisahkan dengan kekuatan ilahi dalam wujud Dua Nggae, Ghale wena tana, dan Embu Mamonya, tana watu, dan ana kalo fai walu, memiliki kekuatan dasyat yang dapat menjembatani kekuatan supranatural dan kekuatan natural yang kemudian diolah oleh ratio untuk memberi manfaat bagi kemaslahatan umum.

    1. TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN

Pandangan pemerintah terhadap eksistensi Mosalaki sebenarnya  berangkat dari  refleksi sosiologis dan kultural terhadap kedudukan dan peran Mosalaki dari aspek ruangnya sendiri. Untuk menarik simpulan terhadap pandangan dalam konteks tulisan ini, maka perlu dibatasi pada perspektif tertentu sehingga tidak terjebak dalam dialog panjang dan rumit, karena membahas hal Mosalaki dari konteks sosiologis dan kultural butuh energi pengkajian besar dan waktu yang lama. Para pihak peneliti yang disebut di atas antara lain, membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk memahami hal ini. Bahkan setiap insan yang lahir, hidup, dan bahkan akan mati di berbagai wilayah persekutuan adat Lio pun masih bergelut dengan semangat pembelajar yang tinggi untuk memahami adat Lio dibawah kepemimpinan para Mosalaki. Generasi di wilayah-wilayah persekutuan adat Lio masih dililiti dengan pertanyaan-pertanyaan retoris tentang keberadaan Mosalakinya, dan sering terjebak dalam ketidak berdayaanya untuk memahami fenomena ini karena ketiadaan referensi, dan terbatasnya akses pengetahuan untuk itu.  
Aliansi Masyarakat Adat Tiwu telu ( AMATT ) yang pernah mempelopori pembicaraan tentang hal ini di Desa Saga, Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende, Propinsi NTT,  mudah-mudahan mampu membangun sebuah ruang akses yang dapat menjembatani terbangunya pemahaman tentang adat Lio. Semua aspek/komponen dalam sistem adat Lio harus didekati dengan metode kajian yang tepat apabila ada niat untuk menempatkan adat Lio dalam suatu konteks tertentu. Katakanlah pemerintah berkehendak melaksanakan fungsi-fungsi pokoknya seperti : membangun, melayani, dan memberdayakan, tentunya salah satu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kultural.  Menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dengan memberikan proporsi kedudukan dan peran secara berimbang diantara tiga komponen itu ( pemerintah, swasta, dan masyarakat/civil society)  juga dapat menerapkan pendekatan kultural dengan menempatkan komponen pemimpin-pemimpin  atau elit-elit lokal sebagai penggerak/dinamisator dalam kelompok masyarakat sipil yang madani. Pendekatan-pendekatan ini sebenarnya berangkat dari adanya suatu cara pandang/perspektif  tertentu.
Berbagai kebijakan pemerintah telah mensyaratkan adat  tetap diakui. Legitimasi terhadap keberadaan adat istiadat kemudian ditetapkan dalam ketentuan formal, sebenarnya berangkat dari pandangan atau perspektif tertentu. Katakanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat, merupakan hasil  dari suatu  cara pandang, sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dasar pertimbangan adalah "bahwa adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat adat".

Praktek pemerintahan yang dijalankan oleh semua pemangku pemerintahan tidak pernah menafikan kehadiran para pemimpin adat. Di Kabupaten Ende, Mosalaki adalah salah satu sosok kepemimpinan adat Lio yang sangat strategis dan signifikan dalam ikut menentukan roda pemerintahan daerah. Salah satu kekuatan atau pilar sosiologis dan kultural yang ikut menjadi indikator keberhasilan otonomi daerah adalah kehadiran masyarakat daerah yang dipimpin secara tradisional oleh para Mosalaki yang tersebar di berbagai wilayah persekutuan adat Lio. Kita semua tahu dan paham bahwa desa-desa yang dibentuk  di Kabupaten Ende mulanya berangkat dari unit-unit pemerintahan adat, sehingga UU atau ketentuan yang mengatur tentang desa selalu mensyaratkan dan mendefenisikan esensi sosiologis dan kultural masyarakat desa bersangkutan. Sejarah dan budaya masyarakat adat menjadi akar dan asal mula sejarah pemerintahan.
Praktek pemerintahan selama ini menempatkan Mosalaki sebagai komponen pemimpin adat yang memiliki legitimasi sosiologis dan kultural, yang ikut memberikan andil bagi pemerintah dalam menelorkan berbagai kebijakan publik, dan menjadi alat kontrol sosial. Mosalaki adalah aset daerah yang memiliki  kekuatan menggerakan,  daya kontrol, dan potensi dukungan yang telah memberi andil besar bagi pembangunan menuju kesejahteraan umum. Pemberian tanah secara cuma-cuma, ceremoni restu adat dalam setiap serial pembangunan daerah, aktif memberikan dorongan dan kontrol kepada pemerintah melalui peran aspiratif, agregatif, dan presure sosial.
Padangan dan pemberlakuan terhadap  kedudukan dan peran Mosalaki kadang terjebak dalam dikotomi kepentingan sehingga sering mengaburkan eksistensi Mosalaki. Dampak enklavisme dan ekslavisme kadang menjadikan penilaian plus-minus terhadap Mosalaki.  Tuduhan minusnya adalah bawha budaya atau adat istiadat menjadi kambing hitam kegagalan pembangunan. Para pelaku proyek kadang merasa kaget dengan hadirnya para Mosalaki dalam kepentingan ceremonial adat untuk suatu proyek. Sebaliknya para Mosalaki dan masyarakat adatnya kadang harus dikagetkan dengan masuknya proyek tertentu tanpa kompromi dan menempatkan mereka sebagai obyek belaka yang tidak berdaya dan ikut merongrong lingkungan hidupnya. Peka terhadap sentuhan perubahan eksternal menjadikan Mosalaki dan ana kalo fai walu ( warga adat )  semakin berhati-hati dalam menerima perubahan. Kepekaan ini kemudian menjadikan sebagian dari kita menganggap bahwa budaya lokal sulit berubah atau tidak mudah meneriuma perubahan. Sebaliknya para pelaku proyek dengan nafsu berkeuntungan besar kadang alergi dengan hadirnya para Mosalaki yang cenderung dianggap ikut campur  tangan serta dianggap menghambat pertumbuhan. Keduanya memiliki sikap saling respek sehingga menimbulkan "enklavisme, dan ekslavisme". Mosalaki dan masyarakat adatnya kaget karena ada barang baru yang masuk diwilayahnya (ekslavisme), dan sebaliknya pelaku proyek juga kaget bahwa ternyata ada kelompok masyarakat yang memiliki pemimpin lokal yang tangguh dan berpengaruh di lokasi proyek (enklavisme). Oleh karena itu perlu dibangun ketahanan budaya ( resiliensi kultural ) yang dimulai dari  para Mosalaki dan para fasilitatornya, sehingga mampu memiliki kemampuan transformasi. Selanjutnya berbagai Aliansi Adat yang telah dibentuk harus secara terus menerus menekuni upaya mengangkat eksistensi adat istiadat Lio, dan mampu membawa tranformasi nilai secara tepat. Untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut, hal pertama adalah perlu memetakan seluruh wilayah kekuasaan adat Lio yang tersebar di berbagai wilayah persekutuan adat di Kabupaten Ende. Pemetaan itu perlu terlebih dahulu  karena akan menjadi lembaran awal untuk mengenal dan memahami eksistensi kemudian baru menggali nilai, lalu ditransformasikan kemudian untuk menjadi referensi bagi siapapun.
Para pelaku proyek, hendaknya memiliki kemampuan analisis dampak sosial yang handal sebelum melakukan kegiatanya. Studi permulaan sebelum dimulainya sebuah proyek hendaknya mensyaratkan juga studi  atau analisis sosial, tidak saja analisis dampak lingkungan yang lebih mengedepankan lingkungan fisik ketimbang analisis lingkungan sosial yang mengedepankan analisis lingkungan non fisik. Pemerintah sebagai pihak regulator hendaknya menetapkan kebijakan yang mewajibkan setiap pelaku proyek di berbagai kawasan masyarakat  untuk mendahulukan kegiatan dengan menyampaikan hasil analisis dampak sosial ( ANDAS) sebagai salah satu syarat untuk memenangkan tender. Pada kawasan yang masyarakatanya masih memiliki kerentanan sosial karena masih tertinggal dan memiliki keterikatan kultur yang tegas, harus dilakukan analisis dampak sosial sebelum melakukan kegiatan proyek. Pemerintah harus memiliki peta wilayah adat secara rinci dengan potensi-potensi budayanya guna menjadi acuan perencanaan pembangunan dan referensi bagi semua pelaku kepentingan dalam proses pemerintahan dan pembangunan di daerah.

  1. KESIMPULAN.

Apapun pandangan terhadap Mosalaki, oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun, untuk dapat menggugah kedudukan dan peran Mosalaki dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sebenarnya hal  strategis yang perlu dimulai untuk dilakukan adalah :
1.    Membangun kesadaran eksistensial internal dari Mosalaki dan masyarakat adatnya untuk memahami dirinya sesuai dengan keaslian adanya dan mengembalikan pamor kulturalnya sesuai dengan sejarah asal-usul nenek moyangnya.
2.    Memetakan semua potensi adat Lio secara deteil dan sistematik untuk mengetahui eksistensi material adat Lio berdasarkan sejarah genealogis dan sejarah teritorialnya. Disini perlu dihindari generalisasi wilayah-wilayah persekutuan adat di Kabupaten Ende, karena sebenarnya antara setiap wilayah persekutuan adat  ada perbedaan walau tipis, tetapi sangat menunjukan keunikan-keunikan yang khas sesuai dengan latar sejarah dan hukum adat yang berlaku khusus di wilayah adat masing-masing. Hal ini akan menjadi media informasi publik untuk mengenal dan memahami adat Lio sehingga metode dan pendekatan pembangunan yang dilakukan tetap mendarat pada kultur masyarakat lokal, dan menunjung tinggi penegakan hukum  Negara.  Kita meminta dukungan lembaga sosial kemasyarakatan seperti  AMATT untuk hal ini.
3.    Mengembangkan kemampuan/kapasitas untuk berdaya tahan terhadap pengaruh ligkungan eksternal, dan kapabilitas untuk mentransformasikan nilai-nilai buadaya Lio  ke dalam berbagai konteks persoalan sehingga adat lio berkenan dapat menjawab setiap perubahan jaman.
4.    Pemerintah Daerah Kabupaten Ende tidak pernah akan melepas Mosalaki dalam perjalanan pemerintahan daerah, karena kehadiran mereka merupakan modal social yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat adat masing-masing.
5.    Untuk tidak saling menuduh dalam semangat enklavisme, dan ekslavisme, maka hendaknya setiap kegiatan pembangunan yang terjadi di wilayah masyarakat adat harus dimulai dengan mengembangkan studi permulaan melalui studi/analisis dampak sosial oleh pelaku proyek, dengan melibatkan masyarakat adat  bersangkutan dengan pendekatan dan metode komunikasi partisipatif.



TERIMA KASIH




Satbanlima.blogspot.com.



Senin, 07 Desember 2009

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Sejak perubahan paradigma tata pemerintahan daerah pasca Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah, salah satu hal yang sangat maju dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia adalah pelaksanaan pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung. Dimata bangsa-bangsa di dunia internasional, Indonesia sebagai Negara besar telah mengalami kemajuan pesat dalam hal berdemokrasi. Walau penilaian itu masih sangat subyektif, manakala kacamata penilaian itu masih sangat sepihak karena sejak pemilihan Presiden dan berlanjut pada Pemilhan beberapa Kepala Daerah di beberapa daerah di Indonesia telah meninggalkan persoalan yang tidak disadari sebagai bias dari cara yang sangat monopolistis dalam mengelola negeri ini. Secara proses kita berbangga, namun ketika output dari proses pemilihan Kepala Negara dan Kepala Daerah secara langsung itu harus ditempatkan secara tepat, tidak sebagai pelaku proses politik semata tetapi harus menjalani proses pemerintahan baik secara Nasional maupun Daerah. Oleh karena itu kriteria yang harus dilekatkan disini tatkala penjaringan calon pemimpin Nasional maupun pemimpin di daerah harus berdasarkan kriteria pemimpin pemerintahan lalu kriteria politik sebagai prasyarat dan format proses bukan syarat yang dibutuhkan sebagai suatu output. Syarat outputnya adalah syarat kepemimpin pemerintahan.
Kasak kusuk pencalonan Kepala Daerah sebagai sebuah proses politik, ternyata sering menyisahkan persoalan rumit dan memberi kesan heboh. Kepala Daerah dalam teori politik merupakan komponen dari struktur supra yang memiliki legitimasi kekuasaan secara absah untuk memegang tampuk kekuasaan eksekutif daerah. Kekuasan ini yang mendorong berbagai pihak untuk berlomba-lomba merebut kursi kekuasaan ini yang dalam konteks politik demnokrasi sah-sah saja. Dorongan dan nafsu ingin berkuasa ini sebenarnya berangkat dari adanya seperangkat nilai dibali kekuasaan itu. Walau sebenarnya menuju kekuasaan itu membutuhkan kerja keras, pengorbanan materi, dan harga diri. Katakanlah bahwa siapapun yang memenuhi syarat sesuai ketentuan perundang-undangan, memiliki hak yang sama untuk sebagai warga negara untuk dipilih menjadi kepala daerah. Argumentasi ini baru dilihat dari satu perspektif, dan kebetulan paradigma politik teraktual ( terbaca demokrasi ) telah memberi ruang leluasa untuk itu. Dan setiap kita merasa pantas dan layak saja untuk menjadi calon Kepala Daerah, terlepas dari patut dan tidak patut. Patut dan tidak patut inilah kadang memberi kesan bahwa dari sisi owner-self – politcian, seseorang harus menyadari dirinya layak atau tidak layak menjadi seorang pemimpin di suatu daerah, apalagi daerah disini adalah sebuah unit pemerintahan ? Kalau menyadari makna subyektif retorika ini dari kaum pesimis, tentunya ada unsur pesimisme, tetapi bila kesadaran akan makna kepemimpinan pemerintahan sebagai suatu fenomena sosial kultural bukan politik, maka ada nilai konstruktif yang akan dibangun oleh para peminat calon Kepala Daerah untuk berbenah diri menurut tuntutan kriteria sosial dari khalayak konstituennya selain kriteria menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Katakanlah seorang mantan narapidana yang telah bertobat, boleh-boleh saja mencalonkan dirinya menjadi Kepala Daerah karena memiliki seperangkat kapasitas politik namun akan menjadi gunjingan sosial yang tidak pernah ia dengar lalu terus maju dengan menutup telinganya ?. Secara normatif dan politis sah-sah saja, namun apa yang terjadi dibalik gunjingan sosial di tengah masyarakat kita. Sah dan pantas, tetapi tidak patut dan layak.
Menyadari akan susbtansi kepala daerah adalah sebuah sistem kepemimpinan, maka nilai-nilai kekuasaan yang melekat padanya sering menjadi spektrum, sehingga antara kekuasaan dan kepemimpinan, dipandang ibarat dua sisimata uang. Apakah seorang pemimpin tidak memiliki kekuasaan ?, atau seorang penguasa tidak memiliki nilai kepmimpinan ?. Ketika masuk ke dalam rana kebijakan, kekuasaan dan kepemimpinan adalah pilihan tindak. Kapan ia menjadi penguasa dengan membonceng jabatan pemimpin, dan kapan kepemimpinan itu dapat digerakan dengan menggunakan kekuasaan absah?.
Bila dilihat dari pendekatan proses, maka segala dinamika dan gerakan untuk menjadi Kepala Daerah adalah sebuah proses politik. Sedangkan output dari proses politik itu akan berfungsi dan berperan menjalankan sebuah proses pemerintahan. Dengan sebuah jabatan politik diharapkan seorang Kepala Daerah dapat ikut menjalankan pemerintahan daerah, yang dalam bahasa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan bahwa Kepala daerah dan perangkat daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah selain DPRD. Dengan demikian maka sebenarnya yang kita jaring melalui proses Pilkada adalah figur pemimpin pemerintahan daerah. Berbagai opini yang kita baca dan dengar melalui berbagai media, sebenarnya pesta pilkada yang akan datang dilakukan untuk memilih seorang pemimpin pemerintahan, bukan seorang kepala politik. Dalam teori pemerintahan, pemimpin pemerintahan yang kebetulan menjabat kepala daerah harus memiliki kemampuan transformatif sehingga mampu memiliki daya transfer sosial yang kuat untuk membalikan diri, status dan peranya dari situasi politik ke situasi pemerintah dengan segala sub kulturnya. Pemerintahan dalam versi Kybernologi adalah sebuah proses yang siklik dan transformatif, untuk itu pemimpinya harus memiliki kapabiltas transformasi nila dan memiliki kadar resiliensi yang tinggi karena akan menghadapi perubahan kultur dalam sistem yang baru ketika masuk dalam masa kepemimpinanya terutama menghadapi transformasi nilai. Global, nasional, regional dan lokal. Tentunya kepasitas dan kapabilitas ini bukan sesuatu yang mudah untuk diterapkan. Untuk itu setiap kader yang hendak bertarung dalam pesta pilkada harus memiliki konsep terhadap dirinya ketika menghadapi tuntutan kriteria-kriteria yang dipersyaratkan oleh masyarakat. Perkembangan opini akhir-akhir ini harus ditangkap sebagai warning untuk mengenal diri apakah pantas dimata publik pemilih atau tidak, terutama didaratkan pada kondisi riil wilayah. Pemerintah bukanlah sebuah target tuntas, tetapi sebuah fenomena sosial yang tidak pernah akan selesai, karena itu setiap kader yang berniat menjadi pemimpin pemerintahan, harus memiliki target pemerintahan bukan target politik, karena seorang pemimpin pemerintahan akan dihadapi dengan pola dan kultur pengelolaan suatu hubungan pemerintahan bukanlah sebuah hubungan kekuasaan. Kekuasaan adalah alat atau cara yang delegatif dan otoritatif, tetapi yang melekat pada setiap saat yang bersifat legitimate dan atributif adalah peran dan fungsi pemerintahan pada aseorang kepala daerah. Melalui jabatan Bupati sebagai jabatan politis, seorang kepala daerah akan mengelola sebuah pemerintahan daerah bersama DPRD. Oleh karena itu sudah saatnya measyarakat berkewajiban menentukan pemimpin daerahnya dengan menawarkan seperangkat kriteria sosial sercara subyektif dengan cara pandang bervariasi. Setelah membaca berbagai referensi, dan melihat fenomena empirik yang akhir-akhir ini berkembang, terutama tawaran kriteria sosial dan normatif bagi seorang calon kepala daerah, maka melalui tuisan ini kami mencoba menurunkan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan bagi setiap insan pemilih dalam menentukan pilihan atas calon pemimpinya, dan bahan renungan bagi kader daerah yang berniat maju bertarung menjadi calon pemimpin di daerah. Kriteria ini merupakan ramuan konseptual yang penulis ramu dalam sebuah refleksi pengalaman dan empiris sepanjang perjalanan karier.
1. Kita membutuhkan pemimpin yang visioner dan memiliki misi pengabdian total dalam pelayanan publik sebagaimana menjadi tuntuan pemiMpin di jaman ini.
2. Pemimpin harus hadir sebagai problem solver dengan mengedepankan peran fiasilitator, mediator, dan katalisator dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan pemerintahan.
3. Apabila pemerintahan adalah sebuah proses hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah ( hubungan pemerintahan ), maka kehadiran pemimpin dalam proses ini sebagai komunikator dalam hubungan itu secara dialogis dengan menjaga tata nilai-nilai organisasi, karena pemerintahan itu bukan monopoli kerja pemerintah semata tetapi merupakan bagian yang sangat integral dari pekerjaan pihak yang diperintah juga.
4. Komunikasi yang dibangun pada point 3 ( tiga ) di atas tentunya harus dapat merangsang dan membangun semangat inisiasi, kreasi, dan selalu menghargai pikiran arus bawah.
5. Sebagai seorang pemimpin, dalam menjalankan managemen kerjanya harus memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menggerakan seluruh kekuatan dan potensi yang ada, dan memanfaatkan kelebihan orang lain secara proporsional ( managerial skill )
6. Pemimpin pemerintahan adalah pemimpin yang sangat dekat di hati warganya dengan mengembangkan sikap : emphati, akomodatif dan antisipatif. Dengan demikian ia selalu mendapat respek, simpati, perhatian, dan kehadiranya tidak menjadi mangsa ( korban ) bagi pihak lain, tetapi merangsang keterlibatan utuh dan total dari pihak yang dipimpinya. Pemimpin yang kita harapkan harus selalu hadir bersama rakyatnya dalam setiap sisi kehidupanya baik secara simbolik maupun secara langsung. Pemimpin yang “ omni presen”
7. Pemimpin pemerintahan di era sekarang tidak dapat mengandalkan karisma politis dan populis semata, tetapi harus didukung dengan kemampuan iptek sehingga dapat menembus jaman ini dengan segala dinamikanya, serta memiliki konsep-konsep dasar yang aplikable, sehingga pada taratan global ia dapat melambung, pada tataran nasional ia menyambung, dan tataran regional ia merampung, dan pada tataran lokal ia mendarat..
8. Oleh karena pemerintahan adalah sebuah proses dengan berbagai subkulturnya yang sangat kompleks, maka seorang pemimpin pemerintahan harus memiliki kemampuan generalis ( mengetahui banyak hal walu sedikit-sedikit ). Oleh James Fox ciri pemimpin seperti ini disebutnya harus “all embrance” dan memiliki daya dan potensi unggul. Pemimpin yang “omni potens”.
9. Pemimpin pemerintahan sebagaimana pemimpin umumnya, pasti rentan dengan pengolahan kekuasaan ( takta), dan selalu diliputi dengan penghargaan materi yang menggiurkan ( harta ), serta selalu dikelilingi para manager yang siap memanage bos dengan cara yang manis dan gaya yang cantik ( analoginya dengan wanita cantik ). Artinya pemimpin yang kita harapkan harus tidak mabuk takta, haus uang, dan gila wanita. Dengan kata lain sejarah profil orang yang dipilih harus memiliki setting moral yang baik dan layak menurut kacamata moral dan etik sosial masyarakat.
10. Dengan melepaskan porsi diri untuk diabdikan kepada orang lain, maka pemimpin yang kita harapkan adalah pemimpin untuk semua. Maka itu pemimpin pemerintahan adalah pemimpin bukan untuk pemerintah tetapi untuk yang diperintah. Semangat yang patut dibangun adalah “aku dipilih untuk melayani bukan untuk dilayani.
Kriteria ini tentunya bukan sebuah tuntutan absolut, Karena pemimpin itu bukanlah malaikat, tetapi kriteria-kriteria ini akan sangat aplikable apabila pemimpin dapat menempatkan diri secara sistematik karena ia menjalankan kepemimpinan sebagai sebuah sistem bukan sebagai sebuah kekuasaan yang monoloyalistik. Kepada setiap warga yang telah memiliki hak pilih, maka dengan kecerdasan dan keterpelajaran kita akan berbagai pilkada yang telah lewat di berbagai daerah d tanah air, maka marilah kita mencari dan memilih pemimpin daerah kita yang pantas, layak, dan patut, bagi kita. Semoga

Senin, 31 Agustus 2009

VISI PILKADA DALAM PERSPEKTIF PEMERINTAHAN

Perdebatan sengit sering terjadi dan merambah hingga ke proses hukum pasca Pilkada. Tidak urung menimbulkan persepsi yang terbangun melalui intepretasi baik secara politis, hukum, sosiologis, dan kultural. Opini berkembang secara bebas di kalangan masyarakat yang sering dipelopori oleh para politisi, akademisi, dan partisan. Gejolak yang sering menarik pehatian dan kadang membuat pihak-pihak yang telibat memiliki dua sisi pendapat secara berbeda. Para pemenang pertarungan akan secara enteng mengatakan Pilkada telah usai dengan sukses walau mereka sendiri mengetahui ada kesalahan sepanjang proses itu yang dibuat oleh pihak lain, atau pihaknya sendiri. Sedangkan pihak yang kalah dalam pertarungan akan cenderung untuk mengolah kekalahanya dengan mengajukan protes atas berbagai pelanggaran yang terjadi sepanjang proses Pilkada. Umumnya protes dan unjuk ketidakpuasan tidak jarang membawa petaka dalam pemerintahan. Sedangkan dalam kerangka politik unjuk ketidakpuasan dalam bentuk apapun dipandang sebagai akumulasi dari suatu komunikasi politik, walau muatan kepentinganya sangat tidak seimbang dalam pertimbangan kepentingan yang lebih besar. Kerusuhan di Kabupaten Kaur, Propinsi Bengkulu adalah salah satu kasus pemerintahan yang disebabkan oleh sebuah proses politik yang patut dijadikan sebagai contoh. Pemerintahan sebagai suatu proses harus mengalami kemacetan total akibat proses politik yang tidak menjawab aspirasi dan tuntutan politik. Disini nampak bahwa yang macet adalah proses pemerintah bukan proses politik. Dalam perspektif politik, unjuk rasa itu dilhat sebagai suatu dinamika politik khususnya sarana komunikasi politik. Sedangkan dalam perspektif pemerintahan, unjuk rasa seperti itu merupakan suatu bentuk anarki yang harus diselesaikan secara elegan. Oleh karena itu ia menjadi masalah pemerintahan yang sangat serius. Mengapa dikatakan sebagai pesoalan pemerintahan ?. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pendekatan sistem menurut Prof Winardi yang mengemukakan suatu model berpikir sistemik yang bila diterapkan dalam proses Pilkada, akan berakhir pada tataran das sollen (harapan) pada proses pemerintahan, dan pada tataran das ubergang (tawaran altenatif/solusi) adalah Pemilu, serta dilandasi oleh adanya das sain ( kenyataan berupa masalah) melalui proses politik. Ketiga tahapan proses : mulai dari das sain : kenyataan akan suatu pemerintah yang buruk yang harus diproses ulang melalui mekenisme dan proses politik, dan outputnya menjadi input bagi proses pemilu pada tataran das ubergang ( midlle process for solution). Kemudian dalam proses Pemilu (das Ubergang) outputnya menjadi input bagi proses pemerintahan ( das sollen), dengan outputnya adalah : suatu pemerintahan yang demokratis. Uraian di atas menggambarkan tiga tahapan proses yang dimulai dari adanya persoalan serius pada suatu pemerintahan yang tidak demokratis di masa lalu yang menuai tekanan dan desakan politik untuk segera melakukan reformasi dengan membangun demokratisasi dalam pemerintahan. Refomasi ini dimulai dengan Pemilu yang demokratis dengan asas Luber dan Jurdil, untuk mencapai suatu pemerintahan yang dikemudikan oleh suatu lembaga pemerintah yang demokratis. Dalam konteks Kybernologi pemerintahan ( to govern / governance ) dipahami sebagai suatu “proses”, dan pemerintah ( Government / bestuur / Kybernan ) dapat dilihat sebagai suatu “output” dan “input” pula. Jadi persoalan politik akhir-akhir ini pada akhirnya hanya dapat diselesaikan dan dijawab dengan proses pemerintahan bukan politik. Persoalan yang terjadi sebenranya sudah harus diterjemahkan sebagai pesoalan pemerintahan bukan persoalan politik.

Gambaran diatas mau mengemukakan suatu pendekatan konseptual untuk mengungkapkan visi terakhir dari proses pilkada sebagai suatu mekanisme politik. Dalam perspektif politik tujuan akhir daripada proses politik adalah perolehan seperangkat kekuasaan absah guna menjalankan suatu pemerintahan dibawah suatu regim penguasa. Main point daripada visi ini adalah otoritas dari suatu regim yang dengan mesin kekuasaanya (“birokrasi” ) menjalankan kekuasanya bersama regimnya (pendukung dan Tim sukses ). Dalam perspektif pemerintahan, perlu dibangun cara berpikir apolistis dengan pendekatan Kybernologik dalam menyoroti visi Pilkada. Dalam pemerintahan versi Kybernologi, proses pilkada adalah suatu pekerjaan politik yang dikomandoi oleh Pemerintah ( Presiden, Mendagri). Secara teoritik proses Pilkada dapat disebut sebagai Politik Pemerintahan, yang mempunyai tujuan menjaring suatu pemerintah yang demokratis melalui Pemilu sebagai suatu sarana pemerintah untuk menjaring profil pemerintah yang diharapkan. Pemerintah menggunakan proses politik pemilu dengan melibatkan berbagai komponen terutama kendaraan politik ( Partai Politik), didukung mesin politik ( Birokasi) dan dikontrol oleh masyarakat melalui LSM, NGO, Ormas, dan Pers.

Apabila pemerintah dengan sedikit bebangga bahwa di berbagai daerah telah sukses menyelenggarakan Pilkada, maka dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dimasa depan akan lebih baik yang dijiwai oleh semangat demokrasi. Hipotesa ini berangkat dari asumsi dasar bahwa keberhasilan pemerintah dalan melaksanakan Pilkada di daerah-daerah menunjukan adanya fenomena semakin baiknya pemerintahan kita terutama pemerintahan daerah. Namun ketika asumsi ini didaratkan pada kerangka pikir politik, maka persoalanya belum tuntas, manakala masih ada persoalan ikutan yang selalu membayangi pasca Pilkada. Aparat penegak hukum sering harus pusing melayani berbagai kasus polititk Pilkada yang hendak diselesaikan melalui jalur hukum. Penyelenggara Pilkada ( KPUD) sering harus berhadapan dengan presure pihak tertentu yang memperjuangkan hak-hak politiknya melalui jalur hukum. Namun pemerintah mencoba menerapkan cara berpikir pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan yang lebih besar antara lain pelayanan. Masalah-masalah politik yang diselesaikan melalui jalur hukum, dibiarkan berjalan hingga mencapai putusan tetap, sepanjang itu pula proses politik tetap berlanjut hingga memperoleh figur Pimpinan Daerah guna menjalankan roda Pemerintahan daerah secara absah. Cara berpikir seperti ini membutuhkan kemampuan menempatkan secara tepat dan jelas dengan memperbedakan dua sisi konsep secara jernih. Maksudnya antara pemerintah dan politik secara konseptual harus diperbedakan sehingga menjadi landasan pijak dalam praktek pemerintahan dan politik. Proses politik harus menciptakan suatu output yang bermutu untuk kemudian menjadi input yang bekwalitas bagi suatu proses pemerintahan. Dengan demikian proses pilkada dalam perspektif pemerintahan harus ditempatkan sebagai sarana untuk memperoleh figur pemerintah yang baik ( Good Government ), yang menjalankan pemerintahan yang baik ( Good Governance). Good government disini adalah suatu konsep yang mengarah kepada pengembangan kapasitas, dan lembaga pemerintah ( capacity and isntitution building). Capacity building dilakukan dengan tiga dimensi utamanya adalah : pengembangan sumber daya manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan. Artinya Pilkada setidak-tidaknya dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mampu memiliki kapasitas kepemimpinan pemerintahan yang mampu membangun suatu lembaga pemerintahan yang baik dengan kriteria-kiteria sebagai berikut :

1. Pengembangan sumber daya manusia dengan fokus : Penyediaan perangkat dan aparatur yang dilengkapi dengan tim kerja yang direkrut secara profesional,

2. Penguatan Organisasi dengan fokus : Sistem Managemen Pemerintahan yang bekinerja tinggi, atas tugas pokok dan fungsi khusus menurut konsep microstructure. Menerapkan aspek dayaguna dalam hal : sistem insentive, personalia, kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, dan stuktur managemen.

3. Reformasi kelembagaan : Membentuk lembaga pemerintahan dalam konsep maksrosistem yang dikendalikan oleh aturan main dalam perekonomian, regim-regim politik, kebijakan dan melakukan reformasi secara konstitusional.

PEMASYARAKATAN NASIONALISME INDONESIA DAN IDEALISME BUNG KARNO OLEH PERPUSTAKAAN NASIONAL RI UPT PRPUSTAKAAN BUNG KARNO KERJA...