Sabtu, 02 Januari 2010

REFORMASI BIROKRASI

REFORMASI BIROKRASI MENUJU GOOD GOVERNANCE

Upaya Pemerinntah untuk mewujudkan good governance dengan mereformasi birokrasi harus dipandang apolitis, lebih profesional dengan mengedepankan peran manajemen dan peran administrasi yang lebih kuat dalam tataran organisasai pemerintahan. Perlu dibangun pemahaman bahwa birokrasi sebagai mesin politik dalam sistem politik bukan sebagai agen kendaraan politik yang mudah terkooptasi dalam kelompok kiblat politik yang tidak netral. Sebagai organisasi yang rational, maka birokrasi dalam segala gerak langkahnya baik itu secara individu maupun institusi, akan lebih didominasi oleh dinamika logika dan ratio eksistensinya yang mapan dalam kapasitas lepas dari masalah pengangguran dan jaminan hari tua. OKI ia tidak akan mudah terprofokasi dengan gerakan frontal dan atraktif melalui unjuk rasa atau demonstrasi di jalan-jalan bila menghadapi tekanan kekuasaan atau masalah organisasi yang rumit dan melibatkan sebanyk-banyaknya anggota birorasi. Sekalipun ancaman tekanan itu mengerah pada bubarnya organisasinya. Ia akan memlilih diam-diam menelan ludah pahit dengan bertindak apatis dan kontra psikis dalam membangun kinerja. Efek buruk yang akan dihadapi adalah organisasi akan mengalamai penurunan kinerja secara perlahan-lahan hingga mengakibatkan fungsi administrasi, fungsi manajemen menjadai buruk, dan kinerja kepemimpinan merosot pada suatu waktu yang panjang. Birokrasi akan mudah terprofokasi pada kiblat politik saat pemilu karena ia memliki hak memlilih maupun dipilih. Namun setelah itu ia akan kembali terlibat dalam kulturnya yang asli dan kembali melakukan profesi kemejaannya dengan menekuni pekerjaan sesuai struktur dan fungsi pokoknya setelah tidak mendapatkan keputusan politik Pemilu yang mengakomodir kepentingan haknya itu, alias tidak menang dalam pertarungan politik di arena pemilu.
Konsep Birokrasi sebagaimana digambarkan oleh Weber dan dirilis oleh Albrow merupakan gambaran konseptual yang sangat empirik saat ini. Untuk itu setiap penguasa pengelola birokrasi khususnya birokrasi pemerintahan hendaknya memahami benar substansi birokrasnya baik dari sisi konsep maupun dalam tataran gerak langkahnya saat ini.Reformasi yang hendak dilakukan saat ini bukanlah hal baru tetapi sudah dirilis lama namun tidak segencar sekarang karena dulu-dulunya hanya tertuang dalam program administrasi dan target manajemen berjalan. Sekarang ini ada yang menempatkan " reformasi birokrasi" sebagai program visioner. Sah-sah saja bung, tetapi ingat ! reformasi birokrasi saat ini dan pada masa lalu, terikat erat dengan dua hal yang sangat urgen. Strukturnya yang sangat rational dan kulturnya yang sangat rumit. Secara struktural kita sudah sekian kali merobek, mendobrak, dan mebolak-balik tata struktur birokrasi dengan berbagai konsep seperti " kaya fungsi miskin struktur", namun tetap belum menjawab keinginan dan cita-cita birokrasi yang reformis apalagi birokrasi pemerintahan yang publisitas-servicesnya tinggi ( birokrasi melayani). Visi dan misi mereformasi birokrasi perlu dipahami secara profesional, artinya kalau itu sebuah visi, maka tidak perlu terlalu keras mengatakan dalam jenjang waktu tertentu reformasi birokrasi akan tercapai, tetapi harus menekankan pada peran visi sebagai alat penggerak untuk memulai dengan melakukan "reformasi birokrasi" untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik di masa yang akan datang. Dengan demikian reformasi birokrasi juga harus memperhatikan aspek kultur.jangan bersembunyi dibalik reformasi struktur dan mengabaikan esensi kultur birokrasi yang tidak mengenali nila-nilai birokrasi, sehingga dapat menggugah sikap yang responsif, empati dan peka terhadap tuntutan eksistensialnya, dan kemudian dapat menjadi pemicu perubahan perilaku birokrasi yang bersemangat melayani. Budaya birokrasi dipahamai bukan sebatas soal kebiasaan, dispilin, atau tata cara, tetapi lebih daripada itu " harus digali,dan dikembangkan seperangkat nilai dasar sebuah birokrasi pemerintahan yang terikat pada dimensi ruang, dan waktuya untuk ikut dipahami oleh faktor-faktor eksternal. Reformasi birokrasi yang kita galakan dulu dan sekarang lebih didominasi oleh peran tekanan faktor eksternal untuk memaksakan kehendak eksternal dalam melakukan birokrasi dengan idealisme pelayanan publik.Lalu kita dikejar target politis lalu secara terpaksa dengan desakan waktu kita hanya mampu mereformasi birokrasi pemerintahan sebatas strukturnya. Pernakah kita memahami identitas dari eksistensi birokrasi pemerintahan yang memiliki uniqnes ? Milik siapa birokrasi pemerintahan itu ? Kultur birokrasi saat ini mengalami "shock" karena ia dikerubuti oleh tekanan politik yang merambah hingga ingin merubah kulturnya ke kultur politik. Birokrasi pemerintahan menjadi alat politik, korban politik elit, penerima resiko manajemen yang buruk, serta menjadi kambing hitam sistem politik yang gagal mengemban tugas pemerintahan. Dengan demikian permasalahan birokrasi sebenarnya yang itu-itu saja dari waktu ke waktu. Birokrasi pemerintahan selalu mengalami persoalan yang sama saja dan permasalahan itu adalah efek dari persoalan politik yang senantias merongrong struktur birokrasi, dan mengabaikan esensi penyelenggaraan pemerintahan, sehingga dalam buku The Bureaucratic Phenomenon ( 1964 ) Crozier melihat birokrasi sebagai suatu organisasi yang tidak dapat memperbaiki tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahanya”. Lalu sipengelola yang memiliki kekuasan atas birokrasi seolah menempatkanya secara partial dan lebih mengutamakan kiblat politiknya sampai-sampai mengorbankan profesionalisme birokrasi dan mengabaikan pendekatan administrasi dan manejemen dalam mengelolanya. Tidak usah kaget kalau ada pihak yang mengatakan bahwa reformasi tidak berarti mutasi pegawai, karena mutasi yang kita jalani selama ini hanya bermain-main dengan mereformasi strukturnya saja dan penuh dengan intrik politik balas dendam regim elit politik kurang menyentuh soal kultrunya. Kondisi ini kemudian menjadi alasan bagi pengkooptasi birokrasi atas kiblat-kiblat politik regim. Kalau begini jadinya, maka hipotesa ini dapat dibenarkan " bahwa kooptasi birokrasi ke dalam kiblat-kiblat politik dalam struktur pemerintahan sebenarnya dimulai dengan pengembangan jaringan politik oleh pemimpinya yang membeda-bedakan birokratnya ke dalam regim-regim politik".
Uraian ini tidak akan tuntas dan akan besambung ok ! tetapi sebagai resep atas persoalan terurai di atas, maka diperlukan pemimpin politik yang matang dan seimbang serta memiliki kapasitas kepemimpinan pemerintahan.Pemimpin yang menghargai manajemen, dan pemimpin yang paham ilmu kepemimpinan khususnya pemimpin yang memahami kepemimpinan pemerintahan. Semua elit politik yang telah tamat dari proses politik di pemilu, hendaknya juga belajar pemerintahan karena mereka itu harus menjalani sebuah proses lain pasca pemilu yakni proses pemerintahan. OK ?

PEMASYARAKATAN NASIONALISME INDONESIA DAN IDEALISME BUNG KARNO OLEH PERPUSTAKAAN NASIONAL RI UPT PRPUSTAKAAN BUNG KARNO KERJA...