Senin, 31 Agustus 2009

VISI PILKADA DALAM PERSPEKTIF PEMERINTAHAN

Perdebatan sengit sering terjadi dan merambah hingga ke proses hukum pasca Pilkada. Tidak urung menimbulkan persepsi yang terbangun melalui intepretasi baik secara politis, hukum, sosiologis, dan kultural. Opini berkembang secara bebas di kalangan masyarakat yang sering dipelopori oleh para politisi, akademisi, dan partisan. Gejolak yang sering menarik pehatian dan kadang membuat pihak-pihak yang telibat memiliki dua sisi pendapat secara berbeda. Para pemenang pertarungan akan secara enteng mengatakan Pilkada telah usai dengan sukses walau mereka sendiri mengetahui ada kesalahan sepanjang proses itu yang dibuat oleh pihak lain, atau pihaknya sendiri. Sedangkan pihak yang kalah dalam pertarungan akan cenderung untuk mengolah kekalahanya dengan mengajukan protes atas berbagai pelanggaran yang terjadi sepanjang proses Pilkada. Umumnya protes dan unjuk ketidakpuasan tidak jarang membawa petaka dalam pemerintahan. Sedangkan dalam kerangka politik unjuk ketidakpuasan dalam bentuk apapun dipandang sebagai akumulasi dari suatu komunikasi politik, walau muatan kepentinganya sangat tidak seimbang dalam pertimbangan kepentingan yang lebih besar. Kerusuhan di Kabupaten Kaur, Propinsi Bengkulu adalah salah satu kasus pemerintahan yang disebabkan oleh sebuah proses politik yang patut dijadikan sebagai contoh. Pemerintahan sebagai suatu proses harus mengalami kemacetan total akibat proses politik yang tidak menjawab aspirasi dan tuntutan politik. Disini nampak bahwa yang macet adalah proses pemerintah bukan proses politik. Dalam perspektif politik, unjuk rasa itu dilhat sebagai suatu dinamika politik khususnya sarana komunikasi politik. Sedangkan dalam perspektif pemerintahan, unjuk rasa seperti itu merupakan suatu bentuk anarki yang harus diselesaikan secara elegan. Oleh karena itu ia menjadi masalah pemerintahan yang sangat serius. Mengapa dikatakan sebagai pesoalan pemerintahan ?. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pendekatan sistem menurut Prof Winardi yang mengemukakan suatu model berpikir sistemik yang bila diterapkan dalam proses Pilkada, akan berakhir pada tataran das sollen (harapan) pada proses pemerintahan, dan pada tataran das ubergang (tawaran altenatif/solusi) adalah Pemilu, serta dilandasi oleh adanya das sain ( kenyataan berupa masalah) melalui proses politik. Ketiga tahapan proses : mulai dari das sain : kenyataan akan suatu pemerintah yang buruk yang harus diproses ulang melalui mekenisme dan proses politik, dan outputnya menjadi input bagi proses pemilu pada tataran das ubergang ( midlle process for solution). Kemudian dalam proses Pemilu (das Ubergang) outputnya menjadi input bagi proses pemerintahan ( das sollen), dengan outputnya adalah : suatu pemerintahan yang demokratis. Uraian di atas menggambarkan tiga tahapan proses yang dimulai dari adanya persoalan serius pada suatu pemerintahan yang tidak demokratis di masa lalu yang menuai tekanan dan desakan politik untuk segera melakukan reformasi dengan membangun demokratisasi dalam pemerintahan. Refomasi ini dimulai dengan Pemilu yang demokratis dengan asas Luber dan Jurdil, untuk mencapai suatu pemerintahan yang dikemudikan oleh suatu lembaga pemerintah yang demokratis. Dalam konteks Kybernologi pemerintahan ( to govern / governance ) dipahami sebagai suatu “proses”, dan pemerintah ( Government / bestuur / Kybernan ) dapat dilihat sebagai suatu “output” dan “input” pula. Jadi persoalan politik akhir-akhir ini pada akhirnya hanya dapat diselesaikan dan dijawab dengan proses pemerintahan bukan politik. Persoalan yang terjadi sebenranya sudah harus diterjemahkan sebagai pesoalan pemerintahan bukan persoalan politik.

Gambaran diatas mau mengemukakan suatu pendekatan konseptual untuk mengungkapkan visi terakhir dari proses pilkada sebagai suatu mekanisme politik. Dalam perspektif politik tujuan akhir daripada proses politik adalah perolehan seperangkat kekuasaan absah guna menjalankan suatu pemerintahan dibawah suatu regim penguasa. Main point daripada visi ini adalah otoritas dari suatu regim yang dengan mesin kekuasaanya (“birokrasi” ) menjalankan kekuasanya bersama regimnya (pendukung dan Tim sukses ). Dalam perspektif pemerintahan, perlu dibangun cara berpikir apolistis dengan pendekatan Kybernologik dalam menyoroti visi Pilkada. Dalam pemerintahan versi Kybernologi, proses pilkada adalah suatu pekerjaan politik yang dikomandoi oleh Pemerintah ( Presiden, Mendagri). Secara teoritik proses Pilkada dapat disebut sebagai Politik Pemerintahan, yang mempunyai tujuan menjaring suatu pemerintah yang demokratis melalui Pemilu sebagai suatu sarana pemerintah untuk menjaring profil pemerintah yang diharapkan. Pemerintah menggunakan proses politik pemilu dengan melibatkan berbagai komponen terutama kendaraan politik ( Partai Politik), didukung mesin politik ( Birokasi) dan dikontrol oleh masyarakat melalui LSM, NGO, Ormas, dan Pers.

Apabila pemerintah dengan sedikit bebangga bahwa di berbagai daerah telah sukses menyelenggarakan Pilkada, maka dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dimasa depan akan lebih baik yang dijiwai oleh semangat demokrasi. Hipotesa ini berangkat dari asumsi dasar bahwa keberhasilan pemerintah dalan melaksanakan Pilkada di daerah-daerah menunjukan adanya fenomena semakin baiknya pemerintahan kita terutama pemerintahan daerah. Namun ketika asumsi ini didaratkan pada kerangka pikir politik, maka persoalanya belum tuntas, manakala masih ada persoalan ikutan yang selalu membayangi pasca Pilkada. Aparat penegak hukum sering harus pusing melayani berbagai kasus polititk Pilkada yang hendak diselesaikan melalui jalur hukum. Penyelenggara Pilkada ( KPUD) sering harus berhadapan dengan presure pihak tertentu yang memperjuangkan hak-hak politiknya melalui jalur hukum. Namun pemerintah mencoba menerapkan cara berpikir pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan yang lebih besar antara lain pelayanan. Masalah-masalah politik yang diselesaikan melalui jalur hukum, dibiarkan berjalan hingga mencapai putusan tetap, sepanjang itu pula proses politik tetap berlanjut hingga memperoleh figur Pimpinan Daerah guna menjalankan roda Pemerintahan daerah secara absah. Cara berpikir seperti ini membutuhkan kemampuan menempatkan secara tepat dan jelas dengan memperbedakan dua sisi konsep secara jernih. Maksudnya antara pemerintah dan politik secara konseptual harus diperbedakan sehingga menjadi landasan pijak dalam praktek pemerintahan dan politik. Proses politik harus menciptakan suatu output yang bermutu untuk kemudian menjadi input yang bekwalitas bagi suatu proses pemerintahan. Dengan demikian proses pilkada dalam perspektif pemerintahan harus ditempatkan sebagai sarana untuk memperoleh figur pemerintah yang baik ( Good Government ), yang menjalankan pemerintahan yang baik ( Good Governance). Good government disini adalah suatu konsep yang mengarah kepada pengembangan kapasitas, dan lembaga pemerintah ( capacity and isntitution building). Capacity building dilakukan dengan tiga dimensi utamanya adalah : pengembangan sumber daya manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan. Artinya Pilkada setidak-tidaknya dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mampu memiliki kapasitas kepemimpinan pemerintahan yang mampu membangun suatu lembaga pemerintahan yang baik dengan kriteria-kiteria sebagai berikut :

1. Pengembangan sumber daya manusia dengan fokus : Penyediaan perangkat dan aparatur yang dilengkapi dengan tim kerja yang direkrut secara profesional,

2. Penguatan Organisasi dengan fokus : Sistem Managemen Pemerintahan yang bekinerja tinggi, atas tugas pokok dan fungsi khusus menurut konsep microstructure. Menerapkan aspek dayaguna dalam hal : sistem insentive, personalia, kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, dan stuktur managemen.

3. Reformasi kelembagaan : Membentuk lembaga pemerintahan dalam konsep maksrosistem yang dikendalikan oleh aturan main dalam perekonomian, regim-regim politik, kebijakan dan melakukan reformasi secara konstitusional.

PEMASYARAKATAN NASIONALISME INDONESIA DAN IDEALISME BUNG KARNO OLEH PERPUSTAKAAN NASIONAL RI UPT PRPUSTAKAAN BUNG KARNO KERJA...