Selasa, 08 Desember 2009

PANDANGAN TERHADAP KEBERADAAN MOSALAKI DITINJAU DARI PERSPEKTIF PEMERINTAHAN


  1. PENDAHULUAN

Kehadiran Mosalaki dapat dilihat dari berbagai perspektif atau cara pandang. Tergantung pada saat mana, dimana, dan oleh siapa. Mosalaki yang kita pahami sebagai suatu model kepemimpinan kolegial (bersama ) dapat diinterpretasi secara subyektif oleh siapapun berdasarkan dimensi atau ukuran tertentu; paling tidak pada waktu kapan, di tempat mana, dan / atau  berdasarkan sudut pandang orang tertentu. Artinya bahwa eksistensi Mosalaki bukan segala-galanya dan juga tidak dapat dianggap sepeleh. Salah satu agenda yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu ( AMATT ) dengan melaksanakan seminar di Desa Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, beberapa waktu lalu,  hendaknya ikut membeerikan kontribusi konstruktif bagi pemahaman terhadap kedudukan dan peran Mosalaki dalam sistem Adat Lio sesuai dengan wilayah hukum adat  ( keulayatanya) dimana ia berada. Dalam konteks pertemuan itu, para pemikir kontemporer dengan aliran post positifistknya mencoba membangun sebuah pemahaman yang interpretatif terhadap eksistensi Mosalaki bersama lingkunganya. Ada apa dibalik keberadaan Mosalaki diantara sistem sosialnya ?, bagaimana kedudukan Mosalaki dalam sistem adatnya ?, Mengapa Mosalaki selalu menjadi perhatian dalam proses pemerintahan, politik, dan pembangunan ? pertanyaan-pertanyaan di atas bukan retorika tetapi akan menjadi batasan bagi pemberian argumentasi yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Hal ini tentunya berangkat dari beberap argumen tasi konseptual kultural antara lain : Mosalaki adalah sebuah pranata yang sah dalam sistem sosialnya, Mosalaki adalah sebuah sistem kepemimpinan kolegial, personafikasi dari sebuah sistem abstrak yang sangat sakral, Mosalaki adalah seperangkat nilai yang perlu digali, dimanfaatkan dan dilestarikan dan segudang argumen lainnya yang sarat makna dan kontekstual.

Secara empirik, Mosalaki berada diantara sekian lembaga politik, lembaga formal pemerintahan, lembaga sosial lainnya yang ikut memberi warna bagi keberadaan, kedudukan dan peranya. Warna kehadiran Mosalaki diantara berbagai komponen inilah yang menarik untuk ditelaah secara praktis, manakala ditarik dalam perspektif dari tiga dimensi pokok yaitu ; dimensi waktu, manusia penilai, dan tempat dimana berada. Berdasarkan berbagai cara pandang dan pendekatan untuk menterjemahkan kedudukan dan peran Mosalaki, maka tulisan  ini akan berangkat dari sudut pandang sosiologis, kultural, politis, lalu menukik pada pandangan dari sudut pandang pemerintahan dan pembangunan. Kontreks tulisan ini tentunya merupakan sebuah argumen yang disampaikan secara subyektif, artinya bahwa siapapun Mosalaki, ketika ia ditempatkan dalam konteks tertentu akan memiliki nilai dan makna yang tidak harus sesuai persis dengan esensinya pada momentum dan kesempatan lain. Mari kita menempatkan dia secara proporsional menurut perspektif yang tepat sehingga kesimpulan yang ditarikpun tidak bias makna tetapi kontesktual. "Kura faja no'o lowo-lowo, ro'a loka no'o keli-keli". Katakanlah dalam sistem politik, Mosalaki merupakan bagian atau susb sistem dalam struktur  infra yang kedudukan dan peran sebagaimana Mosalaki dalam sistem Adatnya akan bergeser. Demikian pula dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Kedudukan dan peran Mosalaki akan tidak sepadan dengan kedudukan dan peran sebagaimana dalam konteks wilayah persekutuanya. Lebih jauh tentang ini, dapat diikuti dalam pembahasan di bawah ini.

  1. PANDANGAN TERHADAP EKSISTENSI MOSALAKI.

    1. TINJAUAN DARI  PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

Dalam kajian  ilmu sosiologis, umumnya setiap sistem sosial pasti terdiri atas struktur, fungsi dan kultur. Untuk menjalankan ketiga aspek tersebut dibutuhkan berbagai pranata sosial, sebagai wadah yang menampung, membentuk dan melaksanakanya. Secara empiris dan berdasarkan beberapa peniliti adat Lio seperti : Paul Arndt,SVD, P. Sareng Orinbao, Peneliti Jerman Signe Howell, dan Patricia Wackers, bahwa  Mosalaki adalah salah satu lembaga kepemimpinan bersama dan sistem Adat Lio. Dalam bahasa sosiologis disebut kepemimpinan Kolegial atau yang lazim sebut dengan Persekutuan Mosalaki. Sebagai sekelompok pemimpin, atau Dewan Mosalaki, atau persekutuan Mosalaki, keberadaanya tidak sendiri-sendiri atau orang-perorangan baik dalam konteks pemegangan dan pengelolaan kekuasaan maupun dalam pembuatan keputusan. Untuk itu penilaian terhadap jenis kepemimpinan Mosalaki harus tetap dilihat sebagai bentuk kepemimpinan kolegial. Sifat dasarnya adalah model pemimpin genealogis yaitu dipilih dan ditetapkan berdasarkan garis keturunan darah lurus.
Dalam sistem adat Lio, terdapat empat komponen dominan yaitu : pertama : Dua Nggae-Gheta Lulu Wula, Ghale Wena Tana, dan Embu Mamo, sebagai wujud tertinggi penguasa langit dan bumi, kedua : tana watu sebagai simbol kekuasaan secara teritorial, dan wujud pijakan kesejahteraan Ketiga : Mosalaki sebagai agen daripada wujud tertinggi ( Dua Nggae dan embu mamo ) di bumi dengan kedudukan  sebagai pemimpin dan berperan menjalankan berbagai aturan adat yang diyakini sebagai amanah Dua Nggae dan embu mamo. Keempat : "ana kalo fai walu"  sebagai unsur warga adat yang berasal dari satu turunan  suku dan berada dalam suatu wilayah persekutuan adat, yang wajib diayomi sesuai dengan titah sang tertinggi, antara lain untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran melalui pembagian lahan secara adil dan bijaksana. Keempat komponen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Struktur Mosalaki dalam adat Lio dikenal padat fungsi dan terbagi secara samar dalam struktur yang lasim, seperti : ada Mosalaki Pu'u, ada Mosalaki Ria Bewa, dan sebagainya, walau berbeda antar  wilayah persekutuan. Ada pembagian tugas dan peran yang didasarkan pada kedudukan secara historis dan genealogis. Struktur terbagi secara tersamar, karena dipahami bahwa antara Mosalaki tidak saling subordinat ( tidak saling membawahi), tetapi subservient ( saling melengkapi dalam pelayanan  adat ) sesuai tugas pokok dan fungsinya. Dalam prakteknya saling berbagi peran dan tugas sebagaimana terurai menurut sejarah kepemimpinan genealogis Mosalaki bersangkutan. Komunikasi dalam struktur Mosalaki lebih bersifat fungsional ketimbang struktural, sehingga kesan komando tidak ada, tetapi sharing peran dan tugas yang langsung dipahami secara genealogis. Setiap Mosalaki memahami akan kedudukan, tugas dan fungsinya pada setiap momentum adat. Hal ini tidak nampak dalam keseharian tetapi lebih menonjol pada saat upacara adat. Keseharian seorang Mosalaki terikat pada dimensi ruang dan waktu, sehingga statusnya juga kental dengan tempat dimana ia berada ( wilayah persekutuan dan  tana watu), dan kapan terjadi peristiwa adat ( seremoni adat). Dengan demikian ia harus menempatkan diri secara proporsional dengan memperhatikan dua dimensi ini secara ketat . Hal ini perlu dipahami agar status ke-Mosalaki-an tetap memiliki nilai dan makna dimanapun dan kapanpun ia berada. Pengharagaan terhadap nilai ke-Mosalaki- an ini harus tercermin dari ekspresi yang proporsional dengan menjunjung semangat “ kura faja no’o lowo-lowo, roa loka no’o keli-keli”. Dengan demikian Mosalaki tetap mendapat penghormatan yang pantas di luar wilayah adatnya, dan mendapatkan penghargaan yang sepadan pada setiap suasana. Sehingga seorang Mosalaki tidak berpayah-payah mengejar kehormatan atau mengemis penghargaan dari pihak lain ketika berada di luar wilayah adatnya.

    1. TINJAUAN DARI PERSPEKTIF POLITIK

Terdapat suatu proses politik yang juga mengitari kehidupan dalam adat istiadat di wilayah-wilayah persekutuan adat Lio. Namun pembicaraan ini tidak berkisar pada  proses politik  versi adat Lio, antara lain seperti proses dan mekanisme pengangkatan dan pengukuhan Mosalaki ( wake laki ), atau pembuatan kebijakan/keputusan-keputusan, atau juga bagaimana Mosalaki menjalankan fungsi keukasaanya, tetapi  pembicaraan ini lebih memfokuskan diri pada cara pandang secara politis terhadap eksistensi Mosalaki bila ditinjau dari aspek politik formal. Sebagai unsur dari struktur infra dalam sistem politik Nasional, maka kehadiran Mosalaki tidak dapat dinafikan. Praktek-praktek permainan politik praktis telah membuktikan kepada kita semua bahwa kelompok pemimpin adat ini memiliki kedudukan yang strategis, dan sering diberi peran apolitis oleh elit-elit politik untuk menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu. Kecendrungan yang terjadi bahwa Mosalaki sebagai elemen pemimpin masyarakat lokal sering dijadikan alat politik belaka, dan dipaksa untuk menjalankan fungsi-fungsi politik. Fungsi aspiratif, agregatif, komunikasi, dan sosialisasi politik yang harusnya diemban oleh elit politik malahan dibebankan pada kelompok pemimpin ini. Mosalaki kadang harus mengalami degradasi nilai ke-Mosalakian-nya lantaran digerogoti oleh nilai-nilai politik formal yang lebih sekuler dengan tawaran finansial yang menggiurkan. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap kadar pengaruh Mosalaki di mata publik.
Mosalaki secara kelembagaan adalah sub sistem dalam sistem politik  yang dapat menjalankan fungsi interest dan presure politik dalam memperjuangkan aspirasi kelompok masyarakat tertentu, setidak-tidaknya kepentingan masyarakat dalam wilayah persekutuanya. Mereka dapat menjalankan fungsi kulturalnya secara eksternal dengan menerapkan nilai  fungsional yang terkandung dalam syair adat yang melekat bagi jabatan fungsional Mosalaki yakni : " pi'di wiwi - lapi lema, wiwi ria- lema bewa, talu rapa sambu -  tawa rapa rega",   Mereka adalah adalah potensi atau kekuatan dalam menggerakan dinamika politik bangsa. Kedudukan Mosalaki yang tidak dapat dipisahkan dengan kekuatan ilahi dalam wujud Dua Nggae, Ghale wena tana, dan Embu Mamonya, tana watu, dan ana kalo fai walu, memiliki kekuatan dasyat yang dapat menjembatani kekuatan supranatural dan kekuatan natural yang kemudian diolah oleh ratio untuk memberi manfaat bagi kemaslahatan umum.

    1. TINJAUAN DARI PERSPEKTIF PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN

Pandangan pemerintah terhadap eksistensi Mosalaki sebenarnya  berangkat dari  refleksi sosiologis dan kultural terhadap kedudukan dan peran Mosalaki dari aspek ruangnya sendiri. Untuk menarik simpulan terhadap pandangan dalam konteks tulisan ini, maka perlu dibatasi pada perspektif tertentu sehingga tidak terjebak dalam dialog panjang dan rumit, karena membahas hal Mosalaki dari konteks sosiologis dan kultural butuh energi pengkajian besar dan waktu yang lama. Para pihak peneliti yang disebut di atas antara lain, membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk memahami hal ini. Bahkan setiap insan yang lahir, hidup, dan bahkan akan mati di berbagai wilayah persekutuan adat Lio pun masih bergelut dengan semangat pembelajar yang tinggi untuk memahami adat Lio dibawah kepemimpinan para Mosalaki. Generasi di wilayah-wilayah persekutuan adat Lio masih dililiti dengan pertanyaan-pertanyaan retoris tentang keberadaan Mosalakinya, dan sering terjebak dalam ketidak berdayaanya untuk memahami fenomena ini karena ketiadaan referensi, dan terbatasnya akses pengetahuan untuk itu.  
Aliansi Masyarakat Adat Tiwu telu ( AMATT ) yang pernah mempelopori pembicaraan tentang hal ini di Desa Saga, Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende, Propinsi NTT,  mudah-mudahan mampu membangun sebuah ruang akses yang dapat menjembatani terbangunya pemahaman tentang adat Lio. Semua aspek/komponen dalam sistem adat Lio harus didekati dengan metode kajian yang tepat apabila ada niat untuk menempatkan adat Lio dalam suatu konteks tertentu. Katakanlah pemerintah berkehendak melaksanakan fungsi-fungsi pokoknya seperti : membangun, melayani, dan memberdayakan, tentunya salah satu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kultural.  Menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dengan memberikan proporsi kedudukan dan peran secara berimbang diantara tiga komponen itu ( pemerintah, swasta, dan masyarakat/civil society)  juga dapat menerapkan pendekatan kultural dengan menempatkan komponen pemimpin-pemimpin  atau elit-elit lokal sebagai penggerak/dinamisator dalam kelompok masyarakat sipil yang madani. Pendekatan-pendekatan ini sebenarnya berangkat dari adanya suatu cara pandang/perspektif  tertentu.
Berbagai kebijakan pemerintah telah mensyaratkan adat  tetap diakui. Legitimasi terhadap keberadaan adat istiadat kemudian ditetapkan dalam ketentuan formal, sebenarnya berangkat dari pandangan atau perspektif tertentu. Katakanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat, merupakan hasil  dari suatu  cara pandang, sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dasar pertimbangan adalah "bahwa adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat adat".

Praktek pemerintahan yang dijalankan oleh semua pemangku pemerintahan tidak pernah menafikan kehadiran para pemimpin adat. Di Kabupaten Ende, Mosalaki adalah salah satu sosok kepemimpinan adat Lio yang sangat strategis dan signifikan dalam ikut menentukan roda pemerintahan daerah. Salah satu kekuatan atau pilar sosiologis dan kultural yang ikut menjadi indikator keberhasilan otonomi daerah adalah kehadiran masyarakat daerah yang dipimpin secara tradisional oleh para Mosalaki yang tersebar di berbagai wilayah persekutuan adat Lio. Kita semua tahu dan paham bahwa desa-desa yang dibentuk  di Kabupaten Ende mulanya berangkat dari unit-unit pemerintahan adat, sehingga UU atau ketentuan yang mengatur tentang desa selalu mensyaratkan dan mendefenisikan esensi sosiologis dan kultural masyarakat desa bersangkutan. Sejarah dan budaya masyarakat adat menjadi akar dan asal mula sejarah pemerintahan.
Praktek pemerintahan selama ini menempatkan Mosalaki sebagai komponen pemimpin adat yang memiliki legitimasi sosiologis dan kultural, yang ikut memberikan andil bagi pemerintah dalam menelorkan berbagai kebijakan publik, dan menjadi alat kontrol sosial. Mosalaki adalah aset daerah yang memiliki  kekuatan menggerakan,  daya kontrol, dan potensi dukungan yang telah memberi andil besar bagi pembangunan menuju kesejahteraan umum. Pemberian tanah secara cuma-cuma, ceremoni restu adat dalam setiap serial pembangunan daerah, aktif memberikan dorongan dan kontrol kepada pemerintah melalui peran aspiratif, agregatif, dan presure sosial.
Padangan dan pemberlakuan terhadap  kedudukan dan peran Mosalaki kadang terjebak dalam dikotomi kepentingan sehingga sering mengaburkan eksistensi Mosalaki. Dampak enklavisme dan ekslavisme kadang menjadikan penilaian plus-minus terhadap Mosalaki.  Tuduhan minusnya adalah bawha budaya atau adat istiadat menjadi kambing hitam kegagalan pembangunan. Para pelaku proyek kadang merasa kaget dengan hadirnya para Mosalaki dalam kepentingan ceremonial adat untuk suatu proyek. Sebaliknya para Mosalaki dan masyarakat adatnya kadang harus dikagetkan dengan masuknya proyek tertentu tanpa kompromi dan menempatkan mereka sebagai obyek belaka yang tidak berdaya dan ikut merongrong lingkungan hidupnya. Peka terhadap sentuhan perubahan eksternal menjadikan Mosalaki dan ana kalo fai walu ( warga adat )  semakin berhati-hati dalam menerima perubahan. Kepekaan ini kemudian menjadikan sebagian dari kita menganggap bahwa budaya lokal sulit berubah atau tidak mudah meneriuma perubahan. Sebaliknya para pelaku proyek dengan nafsu berkeuntungan besar kadang alergi dengan hadirnya para Mosalaki yang cenderung dianggap ikut campur  tangan serta dianggap menghambat pertumbuhan. Keduanya memiliki sikap saling respek sehingga menimbulkan "enklavisme, dan ekslavisme". Mosalaki dan masyarakat adatnya kaget karena ada barang baru yang masuk diwilayahnya (ekslavisme), dan sebaliknya pelaku proyek juga kaget bahwa ternyata ada kelompok masyarakat yang memiliki pemimpin lokal yang tangguh dan berpengaruh di lokasi proyek (enklavisme). Oleh karena itu perlu dibangun ketahanan budaya ( resiliensi kultural ) yang dimulai dari  para Mosalaki dan para fasilitatornya, sehingga mampu memiliki kemampuan transformasi. Selanjutnya berbagai Aliansi Adat yang telah dibentuk harus secara terus menerus menekuni upaya mengangkat eksistensi adat istiadat Lio, dan mampu membawa tranformasi nilai secara tepat. Untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut, hal pertama adalah perlu memetakan seluruh wilayah kekuasaan adat Lio yang tersebar di berbagai wilayah persekutuan adat di Kabupaten Ende. Pemetaan itu perlu terlebih dahulu  karena akan menjadi lembaran awal untuk mengenal dan memahami eksistensi kemudian baru menggali nilai, lalu ditransformasikan kemudian untuk menjadi referensi bagi siapapun.
Para pelaku proyek, hendaknya memiliki kemampuan analisis dampak sosial yang handal sebelum melakukan kegiatanya. Studi permulaan sebelum dimulainya sebuah proyek hendaknya mensyaratkan juga studi  atau analisis sosial, tidak saja analisis dampak lingkungan yang lebih mengedepankan lingkungan fisik ketimbang analisis lingkungan sosial yang mengedepankan analisis lingkungan non fisik. Pemerintah sebagai pihak regulator hendaknya menetapkan kebijakan yang mewajibkan setiap pelaku proyek di berbagai kawasan masyarakat  untuk mendahulukan kegiatan dengan menyampaikan hasil analisis dampak sosial ( ANDAS) sebagai salah satu syarat untuk memenangkan tender. Pada kawasan yang masyarakatanya masih memiliki kerentanan sosial karena masih tertinggal dan memiliki keterikatan kultur yang tegas, harus dilakukan analisis dampak sosial sebelum melakukan kegiatan proyek. Pemerintah harus memiliki peta wilayah adat secara rinci dengan potensi-potensi budayanya guna menjadi acuan perencanaan pembangunan dan referensi bagi semua pelaku kepentingan dalam proses pemerintahan dan pembangunan di daerah.

  1. KESIMPULAN.

Apapun pandangan terhadap Mosalaki, oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun, untuk dapat menggugah kedudukan dan peran Mosalaki dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sebenarnya hal  strategis yang perlu dimulai untuk dilakukan adalah :
1.    Membangun kesadaran eksistensial internal dari Mosalaki dan masyarakat adatnya untuk memahami dirinya sesuai dengan keaslian adanya dan mengembalikan pamor kulturalnya sesuai dengan sejarah asal-usul nenek moyangnya.
2.    Memetakan semua potensi adat Lio secara deteil dan sistematik untuk mengetahui eksistensi material adat Lio berdasarkan sejarah genealogis dan sejarah teritorialnya. Disini perlu dihindari generalisasi wilayah-wilayah persekutuan adat di Kabupaten Ende, karena sebenarnya antara setiap wilayah persekutuan adat  ada perbedaan walau tipis, tetapi sangat menunjukan keunikan-keunikan yang khas sesuai dengan latar sejarah dan hukum adat yang berlaku khusus di wilayah adat masing-masing. Hal ini akan menjadi media informasi publik untuk mengenal dan memahami adat Lio sehingga metode dan pendekatan pembangunan yang dilakukan tetap mendarat pada kultur masyarakat lokal, dan menunjung tinggi penegakan hukum  Negara.  Kita meminta dukungan lembaga sosial kemasyarakatan seperti  AMATT untuk hal ini.
3.    Mengembangkan kemampuan/kapasitas untuk berdaya tahan terhadap pengaruh ligkungan eksternal, dan kapabilitas untuk mentransformasikan nilai-nilai buadaya Lio  ke dalam berbagai konteks persoalan sehingga adat lio berkenan dapat menjawab setiap perubahan jaman.
4.    Pemerintah Daerah Kabupaten Ende tidak pernah akan melepas Mosalaki dalam perjalanan pemerintahan daerah, karena kehadiran mereka merupakan modal social yang dapat dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat adat masing-masing.
5.    Untuk tidak saling menuduh dalam semangat enklavisme, dan ekslavisme, maka hendaknya setiap kegiatan pembangunan yang terjadi di wilayah masyarakat adat harus dimulai dengan mengembangkan studi permulaan melalui studi/analisis dampak sosial oleh pelaku proyek, dengan melibatkan masyarakat adat  bersangkutan dengan pendekatan dan metode komunikasi partisipatif.



TERIMA KASIH




Satbanlima.blogspot.com.



PEMASYARAKATAN NASIONALISME INDONESIA DAN IDEALISME BUNG KARNO OLEH PERPUSTAKAAN NASIONAL RI UPT PRPUSTAKAAN BUNG KARNO KERJA...