Senin, 31 Agustus 2009

VISI PILKADA DALAM PERSPEKTIF PEMERINTAHAN

Perdebatan sengit sering terjadi dan merambah hingga ke proses hukum pasca Pilkada. Tidak urung menimbulkan persepsi yang terbangun melalui intepretasi baik secara politis, hukum, sosiologis, dan kultural. Opini berkembang secara bebas di kalangan masyarakat yang sering dipelopori oleh para politisi, akademisi, dan partisan. Gejolak yang sering menarik pehatian dan kadang membuat pihak-pihak yang telibat memiliki dua sisi pendapat secara berbeda. Para pemenang pertarungan akan secara enteng mengatakan Pilkada telah usai dengan sukses walau mereka sendiri mengetahui ada kesalahan sepanjang proses itu yang dibuat oleh pihak lain, atau pihaknya sendiri. Sedangkan pihak yang kalah dalam pertarungan akan cenderung untuk mengolah kekalahanya dengan mengajukan protes atas berbagai pelanggaran yang terjadi sepanjang proses Pilkada. Umumnya protes dan unjuk ketidakpuasan tidak jarang membawa petaka dalam pemerintahan. Sedangkan dalam kerangka politik unjuk ketidakpuasan dalam bentuk apapun dipandang sebagai akumulasi dari suatu komunikasi politik, walau muatan kepentinganya sangat tidak seimbang dalam pertimbangan kepentingan yang lebih besar. Kerusuhan di Kabupaten Kaur, Propinsi Bengkulu adalah salah satu kasus pemerintahan yang disebabkan oleh sebuah proses politik yang patut dijadikan sebagai contoh. Pemerintahan sebagai suatu proses harus mengalami kemacetan total akibat proses politik yang tidak menjawab aspirasi dan tuntutan politik. Disini nampak bahwa yang macet adalah proses pemerintah bukan proses politik. Dalam perspektif politik, unjuk rasa itu dilhat sebagai suatu dinamika politik khususnya sarana komunikasi politik. Sedangkan dalam perspektif pemerintahan, unjuk rasa seperti itu merupakan suatu bentuk anarki yang harus diselesaikan secara elegan. Oleh karena itu ia menjadi masalah pemerintahan yang sangat serius. Mengapa dikatakan sebagai pesoalan pemerintahan ?. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pendekatan sistem menurut Prof Winardi yang mengemukakan suatu model berpikir sistemik yang bila diterapkan dalam proses Pilkada, akan berakhir pada tataran das sollen (harapan) pada proses pemerintahan, dan pada tataran das ubergang (tawaran altenatif/solusi) adalah Pemilu, serta dilandasi oleh adanya das sain ( kenyataan berupa masalah) melalui proses politik. Ketiga tahapan proses : mulai dari das sain : kenyataan akan suatu pemerintah yang buruk yang harus diproses ulang melalui mekenisme dan proses politik, dan outputnya menjadi input bagi proses pemilu pada tataran das ubergang ( midlle process for solution). Kemudian dalam proses Pemilu (das Ubergang) outputnya menjadi input bagi proses pemerintahan ( das sollen), dengan outputnya adalah : suatu pemerintahan yang demokratis. Uraian di atas menggambarkan tiga tahapan proses yang dimulai dari adanya persoalan serius pada suatu pemerintahan yang tidak demokratis di masa lalu yang menuai tekanan dan desakan politik untuk segera melakukan reformasi dengan membangun demokratisasi dalam pemerintahan. Refomasi ini dimulai dengan Pemilu yang demokratis dengan asas Luber dan Jurdil, untuk mencapai suatu pemerintahan yang dikemudikan oleh suatu lembaga pemerintah yang demokratis. Dalam konteks Kybernologi pemerintahan ( to govern / governance ) dipahami sebagai suatu “proses”, dan pemerintah ( Government / bestuur / Kybernan ) dapat dilihat sebagai suatu “output” dan “input” pula. Jadi persoalan politik akhir-akhir ini pada akhirnya hanya dapat diselesaikan dan dijawab dengan proses pemerintahan bukan politik. Persoalan yang terjadi sebenranya sudah harus diterjemahkan sebagai pesoalan pemerintahan bukan persoalan politik.

Gambaran diatas mau mengemukakan suatu pendekatan konseptual untuk mengungkapkan visi terakhir dari proses pilkada sebagai suatu mekanisme politik. Dalam perspektif politik tujuan akhir daripada proses politik adalah perolehan seperangkat kekuasaan absah guna menjalankan suatu pemerintahan dibawah suatu regim penguasa. Main point daripada visi ini adalah otoritas dari suatu regim yang dengan mesin kekuasaanya (“birokrasi” ) menjalankan kekuasanya bersama regimnya (pendukung dan Tim sukses ). Dalam perspektif pemerintahan, perlu dibangun cara berpikir apolistis dengan pendekatan Kybernologik dalam menyoroti visi Pilkada. Dalam pemerintahan versi Kybernologi, proses pilkada adalah suatu pekerjaan politik yang dikomandoi oleh Pemerintah ( Presiden, Mendagri). Secara teoritik proses Pilkada dapat disebut sebagai Politik Pemerintahan, yang mempunyai tujuan menjaring suatu pemerintah yang demokratis melalui Pemilu sebagai suatu sarana pemerintah untuk menjaring profil pemerintah yang diharapkan. Pemerintah menggunakan proses politik pemilu dengan melibatkan berbagai komponen terutama kendaraan politik ( Partai Politik), didukung mesin politik ( Birokasi) dan dikontrol oleh masyarakat melalui LSM, NGO, Ormas, dan Pers.

Apabila pemerintah dengan sedikit bebangga bahwa di berbagai daerah telah sukses menyelenggarakan Pilkada, maka dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dimasa depan akan lebih baik yang dijiwai oleh semangat demokrasi. Hipotesa ini berangkat dari asumsi dasar bahwa keberhasilan pemerintah dalan melaksanakan Pilkada di daerah-daerah menunjukan adanya fenomena semakin baiknya pemerintahan kita terutama pemerintahan daerah. Namun ketika asumsi ini didaratkan pada kerangka pikir politik, maka persoalanya belum tuntas, manakala masih ada persoalan ikutan yang selalu membayangi pasca Pilkada. Aparat penegak hukum sering harus pusing melayani berbagai kasus polititk Pilkada yang hendak diselesaikan melalui jalur hukum. Penyelenggara Pilkada ( KPUD) sering harus berhadapan dengan presure pihak tertentu yang memperjuangkan hak-hak politiknya melalui jalur hukum. Namun pemerintah mencoba menerapkan cara berpikir pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan yang lebih besar antara lain pelayanan. Masalah-masalah politik yang diselesaikan melalui jalur hukum, dibiarkan berjalan hingga mencapai putusan tetap, sepanjang itu pula proses politik tetap berlanjut hingga memperoleh figur Pimpinan Daerah guna menjalankan roda Pemerintahan daerah secara absah. Cara berpikir seperti ini membutuhkan kemampuan menempatkan secara tepat dan jelas dengan memperbedakan dua sisi konsep secara jernih. Maksudnya antara pemerintah dan politik secara konseptual harus diperbedakan sehingga menjadi landasan pijak dalam praktek pemerintahan dan politik. Proses politik harus menciptakan suatu output yang bermutu untuk kemudian menjadi input yang bekwalitas bagi suatu proses pemerintahan. Dengan demikian proses pilkada dalam perspektif pemerintahan harus ditempatkan sebagai sarana untuk memperoleh figur pemerintah yang baik ( Good Government ), yang menjalankan pemerintahan yang baik ( Good Governance). Good government disini adalah suatu konsep yang mengarah kepada pengembangan kapasitas, dan lembaga pemerintah ( capacity and isntitution building). Capacity building dilakukan dengan tiga dimensi utamanya adalah : pengembangan sumber daya manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan. Artinya Pilkada setidak-tidaknya dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mampu memiliki kapasitas kepemimpinan pemerintahan yang mampu membangun suatu lembaga pemerintahan yang baik dengan kriteria-kiteria sebagai berikut :

1. Pengembangan sumber daya manusia dengan fokus : Penyediaan perangkat dan aparatur yang dilengkapi dengan tim kerja yang direkrut secara profesional,

2. Penguatan Organisasi dengan fokus : Sistem Managemen Pemerintahan yang bekinerja tinggi, atas tugas pokok dan fungsi khusus menurut konsep microstructure. Menerapkan aspek dayaguna dalam hal : sistem insentive, personalia, kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, dan stuktur managemen.

3. Reformasi kelembagaan : Membentuk lembaga pemerintahan dalam konsep maksrosistem yang dikendalikan oleh aturan main dalam perekonomian, regim-regim politik, kebijakan dan melakukan reformasi secara konstitusional.

Kamis, 27 Agustus 2009

TRADISI PEMERINTAHAN DIANTARA PEMERINTAH-PEMERINTAH TRADISIONAL

TRADISI PEMERINTAHAN DIANTARA
PEMERINTAH-PEMERINTAH TRADISIONAL


Akhir-akhir ini pemerintah daerah sering dibuat pusing dengan berbagai persoalan sosial seputar masalah tanah. Tak ayal urusanya semakin rumit manakala masalah tanah itu ditarik ke dalam aspek budaya masyarakat adat. Tanah di Kabupaten Ende khusunya di kawasan Lio secara kultural merupakan bagian yang integral dengan masyarakat adatnya. Konsep yang melekat dalam hal ini adalah “cultural landschape heritage” . Orang Lio tidak dapat dipisahkan dengan tana watunya. Oleh karena itu ketika sebidang tanah yang pernah dan akan mengalami pengalihan status harus menghadapi proses kultural yang memiliki substansi sosilogis dan antropologis.
Sepintas, masyarakat adat Lio adalah suatu sistem kehidupan sosial-budaya yang terdiri dari empat komponen besar yaitu : Dua Nggae Lulu Wula Nggae Wena Tana,I sebagai unsur supreme being, Mosalaki sebagai pemimpin kolegial, tana watu sebagai pijakan kehidupan nyata, dan masyarakat adat yang disebut ana kalo fai walu. Sebagai suatu sistem kehidupan, masyarakat adat Lio sudah kerap menghadapi desakan masuknya sistem-sistem sosial eksternal lain yang sangat memberi warna perubahan secara kultural. Sistem masyarakat adat ini kemudian dipandang sebagai suatu bentuk pemerintahan asli, lokal, atau pemerintahan adat. Berangkat dari pendapat Ryaas Rasyid, maka sebagai suatu sistem pemerintahan ia memiliki tiga komponen pokok yaitu : adanya lembaga yang jelas, aturan hukum yang mengatur, dan digerakan oleh pemimpin yang sah baginya. Pandangan sistem kehidupan masyarakat adat Lio sebagai suatu bentuk pemerintahan tradisional menghantarkan kita pada sejarah pembentukan desa. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, desa diadopsi secara kultural dari unit-unit pemerintahan asli tersebut kemudian diproses secara politik untuk menjadi sub sistem dalam sistem pemerintahan. Ketika transformasi komunitas adat ini menjadi unit pemerintahan formal seperti desa atau sebutan lainya, terjadi pergseran makna yang lebih menekankan aspek politik sehingga seluruh persoalan yang timbul kemudian dipandang secara politis. Kajian untuk itu adalah include dalam kajian politik lokal. Elit politik dan birokrasi melihatnya sebagai bagian yang tidak tepisahkan dari proses politik sehingga beberapa persoalan kulutral yang terjadi sebagai bias daripada kebijakan pemerintahan, antara lain : masalah tanah, selalu menjadi komoditas politik, dan selalu akan memanfaatkan berbagai saluran politik yang ada untuk menyelesaikanya.
Konflik tanah yang akhi-akhir ini merebak diberbagai pelosok wilayah adat di Kabupaten Ende secara kwantitatif sebenarnya merupakan akumulasi keterpurukan kultural yang terjadi sebagai efek plus minus daripada kebijakan pemerintahan, dan dampak dari dinamika sosial yang tidak terkendalikan secara tak berbudaya. Secara kwalitatif konflik tanah yang terjadi di beberapa kawasan, merupakan hasil refleksi dari cara berpikir masyarakat yang sudah melampaui cara bepikir positifistik (sebab akibat/causalistik). Cara berpikir masyarakat sudah mengarah kepada tidak sekedar pada karena adanya sebab akibat tetapi lebih daripada itu, mereka telah menyadari suatu proses sosial yang harus diikuti secara cermat, karena ia tidak dapat digeneralisir, unik dan mengandung nilai-nilai tersendiri. Pada masa lalu proses penyerahan tanah berjalan tanpa persoalan berarti. Namun pada tahun-tahun teakhir ini menjadi persoalan yang begitu rumit. Mosalaki dengan otoritas kulturalnya menyerahkan kepada pemerintah, dan pemerintah dengan otoritas formal menerima sebidang tanah melalui ceremoni adat versi Mosalaki. Selanjutnya melalui ceremoni formal, pemerintah menetapkan produk legalitas antara hak dan kewajiban atas tanah menurut peraturan perundangan yang berlaku. Proses ini menghadapkan dua komponen sosial yang secara institusional harus dibedakan secara tegas. Mosalaki adalah pemimpin kolegial dalam sistem pemerintah adat. Pemerintah adalah unsur penyelenggara pemerintahan dalam sistem pemerintahan Nasional. Disini terbangun suatu tradisi bersama yang lebih banyak unsur konvensionalnya lalu diterapkan unsur literannya. Terapan tradisi literan ini kemudian mengalami pelemahan secara kultural manakala nilai formal yuridisnya menjadi semakin tidak kuat, padahal telah menjadi bukti hukum yang sah sekalipun telah ditandatangani oleh para pihak dan pejabat yang berwenang. Berbagai berita acara penyerahan tanah, sekalipun sertifikat tanah yang sah dan resmipun tak dihirauklan ketika persoalan tanah mengemuka. Orang Lio tidak akan mundur selangkahpun untuk mempertahankan tana watunya walau sudah diserahkan dan telah memiliki bukti hukum yang formal dan sah. Alasan kultural yang sudah lasim bahwa proses pemindahan hak atas tanah pada suatu masa lalu, tidak melibatkan unsu-unsur adat secara utuh. Pemilikan tanah di Lio umunya adalah milik persekutuan sehingga segala peristiwa yang terjadi di atasnya harus melibatkan seluruh komponen persekutuan yang ada. Bahasan ini tidak untuk membedah aspek hukum daripada pesoalan tanah, tetapi mencoba mengemukakan suatu analisis atas fenomena kultur dalam menghadapi masalah-masalah tanah yang akhir-akhir ini terjadi. Sistem kepemimpinan kolegial dengan struktur dan kewenangan konvensional sering menjadi persoalan. Pola pembagian hak garap, dan hak milik di atas tanah adat yang belum memiliki kekuatan hukum adat karena prosedur dan mekanisme kultural yang pernah dibuat melemah kadar resiliensinya, dan jarang dilakukan lagi. Mosalaki sebagai pemimpin adat kurang memiliki taring adat lagi karena kecenderungan sekularisme yang melemahkan unsur kekuatan magis dan kurang disegani oleh ana kalo fai walu. Cara berpikir masyarakat adat yang sangat didominasi oleh cara berpikir strukturalis dan normatif.
Lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan formal, dan rendahnya kadar pengakuan pemerintah terhadap sistem pemerintahan tradisional yang pernah ada, merupakan dasar terjadinya bebagai persoalan yang sering menghadapkan dua elemen sosial yakni : pemerintah formal dan pemerintahan adat. Persoalan tanah misalnya, kadang secara kwantitatif persentasi rumitnya sangat kecil bila dilihat dari perspektif pemerintah, namun bila dilihat dari perspektif kultur masyarakat adat yang bersangkutan begitu rumit. Hal ini didasarkan pada dua cara berpikir yang dilatari oleh setting kultur yang berbeda. Pemerintah daerah memiliki tradisi-tradisi dalam menyelesaikan berbagai masalah pemerintahanya. Sedangkan masyarakat dalam kapasitasnya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat ( pemerintah adat), sudah memiliki berbagai kebiasaan dalam menyelesaikan masalah.
Dalam konteks Ilmu pemerintahan versi Kybernologi, pemerintahan dilihat sebagai suatu gejala sosial yaitu hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (hubungan pemerintahan ). Pengertian sosilogis ini menempatkan dua komponen utama dalam poses pemerintahan yaitu : pemerintah dan masyarakat sebagai pihak yang diperintah. Pola hubungan ini menunjukan bahwa antara pemerintah dengan masyarakat berada dalam kerangka interaksi yang tidak vertikal tetapi horisontal dengan menekankan aspek interdependency. Namun ketika pemerintahan dalam tataran normatif-praktis, pola ini mengalami pergeseran menjadi vetikal dan subordinat. Masyarakat tersubodinasi kedalam praktek otonomi dengan luasnya kewenangan formal pemerintah. Masyarakat terdominasikan ke dalam struktur pemerintahan formal sehingga otonomi daerah ini dipahami sebagai otonominya pemerintah bukan otonomi masyarakat. Budaya masyarakat kadang menjadi kambing hitam kegagalan pembangunan. Budaya dianggap sulit berubah.
Menghadapi pandangan demikian penulis menawarkan konsep “ revitalisasi sistem masyarakat adat yang selama ini ada menurut eksistensi dirinya”, dan rekontekstualisasi adat di dalam hubungan pemerintahan“ sehingga secara proporsional mereka memiliki trilogi ketaatan yang proporsional yakni kepada “ Tuhan, Kaisar, dan kepada leluhurnya”. Dalam penelitian di Lio Signe Howell mengatakan bahwa “orang Lio itu telah memberi kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah, dan selanjutnya kepada embu Mamo apa yang menjadi hak Embu Mamo (ancestor)”. Pemerintah secara organisatoris harus mulai membangun budaya pemerintahanya secara apolitis”. Secara inisiatif, semua masyarakat adat dan pemimpin adatnya harus memiliki komitmen mengembangkan potensi dan kekuatan budaya yang ada di dalam dirinya. Semua unit pemerintahan adat yang pernah ada hendaknya kembali dibina untuk menemukan jati dirinya dengan mengembangkan kebijakan pemerintah tentang pembentukan unit-unit pemerintahan lokal formal yang akomodatif terhadap unit-unit pemerintahan adat itu. Pemerintah daerah harus memiliki data dan peta budaya masyarakat adat di wilayahnya yang akurat dan rinci, sehingga nantinya dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan pemerintah hendaknya menempatkan budaya sebagai input dalam proses pemerintahanya sehingga fenomena enklavisme dan ekslavisme dapat dibatasi secara proprsional. Artinya kehadiran pemerintah tidak menjadi barang asing bagi masyarakat, ( gejala enklavisme). Pemerintah jangan sampai menganggap dirinya sedang berada di dalam lingkungan masyarakat-masyarakat adat yang sangat asing baginya ( gejala ekslavisme).

Rabu, 26 Agustus 2009

DEMOKRASI DAN KETERGANTUNGAN SOSIAL

DEMOKRASI DAN KETERGANTUNGAN SOSIAL
Secara konseptual demokrasi dan kesejahteraan( welfare ) merupakan dua konsep yang sangat terkait erat walau tidak harus dibuat paralel. Demokrasi adalah pilihan untuk mewujudkan kesejahteraan. Adalah sangat naif bila demokrasi mengabaikan kesejahteraan. Pilihan demokrasi di negara-negara berkembang pada akhirnya harus dibayar mahal karena harus menghabiskan sebagian besar anggaran negara untuk sebuah demokrasi. Partisipasi publik menjadi taruhan untuk demokrasi, manakala sebagian besar penduduk negeri harus mengorbankan harta dan nyawa untuk demokrasi.
Demokrasi itu sebuah idea yang tidak mudah untuk dicapai. Demokrasi walau tidak tanpa ikatan nilai, tetapi ia merupakan suatu konsep yang utuh dan begitu sulit untuk diinterpretasi tetapi juga tidak sulit untuk diterapkan ketika ia dijatuhkan sebagai pilihan utama. Robert Dahl, Anthony Gidens, atau Jean Baechler, sama-sama melihat demokrasi sebagai sebuah idea, utopia, dan cita-cita yang sangat abstrak sehingga membutuhkan komitmen dan kesiapan semua struktur masyarakat untuknya. Membuat demokrasi menjadi nyata dalam praktek kehidupan politik dan pemerintahan, membutuhkan komitmen dan kesiapan seluruh komponen masyarakat dengan menempatkanya dalam bebagai perspektif secara proporsional. Meletakan demokrasi dalam perspektif ekonomi misalnya, akan membawa kecenderungan sistem ekonomi liberal dan kapitalis. Dalam sistem negara Kesatuan, prinsip demokrasi diterapkan tidak jarang menimbulkan kecenderungan praktek pemerintahan federal yang kadang tersembunyi di balik praktek asas desentralisasi.
Karena kalau tidak, demokrasi akan menelan korban yang tidak sedikit manakala pelaku dan peminat demokrasi yang latah-latahan akan mudah menelan air liur kenikmatan dibalik praktek demokrasi mereka. Besarnya aksi masa yang dibiayai oleh para kaum berduit menjadikan rakyat sebagai umpan peluru bagi praktek tirani dengan tameng demokratisasi. Argumentasi yang counter produktif bagi mereka adalah membuat interpretasi terhadap demokrasi ke dalam paham-paham partikular lokal. Keadaan ini nampak dalam masa pemerintahan orde lama dan orde baru dengan sistem demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila. Sedangkan selama masa reformasi ini proses demokratisasi kita mengarah kepada sistem demokrasi yang tidak disadari sangat latah dengan praktek demokrasi liberal. Indikator yang kita ambil dalam semangat demokrasi kita sebagian besar merujuk pada pendapat ketiga ahli di atas antara lain : partisipasi publik yang efektif, sistem Pemilu jurdil, Persamaan hak pilih, pembeberan kebenaran, ( transparansi), kontrol publik ( social control) yang efektif. Argumen ketiga ahli di atas cukup beralasan ketika mereka melihat demokrasi sebagai wahana dan idea yang membebaskan.
Lain lagi dengan Indonesia yang mengatakan dirinya belum demokrasi. Untuk itu generasi reformis menetapkan perjuanganya untuk sebuah demokrasi. Dan mencoba menekan pemerintah untuk melakukan perubahan secara total yang cenderung revolusioner, sehingga kita dan beberapa pihak luar ikut mengklaim bahwa Indonesia sudah mulai berdemokrasi. Perjuangan ini disambut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga tidak urung mereka rela mengorbankan nyawa dan materi yang tidak sedikit. Ada sebagian besar juga yang latah dan mendapatkan keuntungan politik dibalik perjuangan itu dan menari-nari diatas mayat pejuang reformasi. Benar saja kalau tiada perjuangan tanpa pengorbanan. Tetapi apalah artinya sebuah demokrasi yang telah memakan korban tetapi kurang memberi dampak bagi kesejahteraan rakyat. Apakah demokrasi harus dibayar dengan menggadai kemakmuran itu sendiri atau demokrasi harus menjadi sarana pemakmuran rakyat ?.
Pertanyaan ini menjadi inspirasi bagi tulisan ini kala pemerintah dalam beberapa tahun terakhir melaksanakan hajatan besar Demokrasi yakni Pesta Nasional “Pemilu”. Mulai dari Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden hingga Pemilu Kepala Daerah. Secara politis, biaya yang dikeluarkan untuk hajatan-hajatan ini sangat besar, menyita energi dan perhatian pemerintah bersama masyarakat sehingga tak disadari ikut menggeser tingkat urgensi beberapa aspek kehidupan bangsa ini. Pemilu yang dipandang sangat demokratis dari berbagai pemilu sebelumnya, kini dihadapkan dengan pertanyaan “ untuk apa sebuah pesta demokrasi yang mahal dan menyita tenaga dan perhatian kita semua ?”.
Selanjutnya Pada pertengahan bulan Mei 2005, kita dikejutkan dengan persoalan bangsa yang membuat Kepala Negara menaruh perhatian serius. Kepala negara dikejutkan dengan kasus polio di Jawa Barat, busung lapar dan kekurangan gizi pada sebagian anak bangsa. NTT dan NTB hanya sebagian kecil dari kasus busung lapar, sedangkan Jawa Barat juga merupakan sebagian kecil dari kasus polio di negeri ini. Kalau pemerintah sedikit saja memiliki kejujuran dan berkoban untuk mengabdi secara total, maka kedua persoalan di atas sebenarnya kurang terjadi. Masalah di atas merupakan representasi dari masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Harus diakui bahwa Pemerintah telah gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Dua kasus diatas menunjukan ironi dari pembangunan yang kita galakan selama ini. Kemiskinan sebagai contoh masalah global yang tidak dapat dihindari oleh negara-negara berkembang antara lain Indonesia . Masalah sosial itu secara kwalitatif beriring sejajar dengan pertumbuhan penduduk. Secara kwantitatif laporan pemerintah menunjukan adanya angka penurunan dari tahun ke tahun seiring dengan program pembangunan yang selama ini digencarkan antara lain program pemberdayaan. Secara empiris pembagian beras miskin ( raskin), operasi pasar khusus, selain program pemberdayaan lainya merupakan upaya untuk mengantisipasi masalah kemiskinan rakyat. Tetapi mengapa juga belum tuntas, dan malahan timbul persoalan yang lebih serius yang diindikasikan sebagai bias dari masalah kemiskinan dan dampak dari pola pembangunan akhir-akhir ini ? Program mensejahterakan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan dan Social savety net yang ditawarkan melalui program raskin, dan operasi pasar khusus pada akhirnya menemui persoalan sebagaimana dikatakan oleh Anthony Gidens bahwa “ negara kesejahteraan yang bergantung pada distribusi tunjangan dari atas ke bawah adalah tidak demokratis. Motifnya adalah perlindungan dan kepedulian tetapi hal itu tidak memberi cukup ruang bagi kebebasan personal”. Argumentasi Gidens menunjukan bahwa kebijakan ekonomi yang menciptakan ketergantungan sosial dan ekonomi adalah tindakan negara yang sangat tidak demokratis. Selanjutnya Gidens mengemukakan bahwa resep-resep kesejahteraan justru sering menimbulkan “moral hazard”. Kebijakan kesejahteraan menimbulkan budaya ketergantungan. Seperti tunjangan-tunjangan untuk mengatasi kemiskinan justru menambah tingkat kemiskinan. Maka itu tidak heran laporan KK miskin di berbagai desa semakin meningkat seiring dengan permintaan akan beras OPK, atau raskin.
Dua kasus yang terungkap di atas, merupakan fenomena empirik yang mengemuka sebagai bukti bahwa ternyata perjuangan mengatasi kemiskinan dan ketertinggalan belum apa-apa. Dari seluruh tatanan ( orde ) pembangunan sejak kemerdekaan, bangsa ini masih bergelut dengan persoalan kemiskinan. Cita-cita untuk menjadi bangsa yang demokratis bukanlah persoalan mudah apalagi dengan alasan memuluskan jalan untuk mengatasi kemiskinan .
Kebijakan yang telah dibuat juga ternyata tidak menjadi sarana pembelajaran bagi pemerintah. Malahan kebijakan kompensasi pasca paket regulasi 1 Oktober 2005 tentang kenaikan BBM lebih mengungkit tingkat ketergantungan sosial dan mematikan prakarsa, inisiatif, gotong royong, karena masyarakat yang sudah miskin dan kurang berdaya selalu dihantui oleh sifat pengharapan akan pemberian gratis dari pemerintahnya. Beberapa nilai sosial, dan kultural yang penah dimiliki masyarakat lokal akhirnya hilang seiring dengan pengembangan pola-pola baru dalam pembangunan. Tingkat ketergantungan sosial semakin tinggi seiring dengan pengembangan pola-pola pembangunan. Pembangunan kita semakin tidak mengakar pada nilai-nilai masyarakat lokal (community base development). Perubahan sosial yang dihasilkan dari pembangunan kita belum menyentuh substansi perubahan karakter dan mental manusia Indonesia . Kita membangun tingkat ketergantungan, dan mematikan semangat keja keras. Melemahkan aspek kemandirian dan otonomi komunitas yang dikooptasi oleh peran pemerintah yang over protection dalam bidang sosial dan ekonomi.
Upaya kita kedepan tentunya bukan semudah membalikan tangan. Kebijakan pembangunan yang memandang masyarakat selalu dari sisi kemiskinan dan sistem pengkategorian masyarakat Indonesia atas beberapa kawasan pembangunan hendaknya tidak menjadi tolok ukur utama karena akan bedampak pada pola pembuatan kebijakan ekonomi. Masyarakat kawasan Timur Indonesia misalnya ; selalu menghadapi cara pandang para investor dengan menggunakan kacamata ketertingalan yang kurang menguntungkan untuk berinvestasi. Kemauan politik pemerintah pusat untuk tidak segan mendesak para investor dalam negeri untuk membangun sentra-sentra industri di kawasan ini secara sukarela dengan argumen untuk merangsang pertumbuhan dan mendorong efek pegerakan eknomi diberbagai sektor. Keseriusan pemerintah pusat untuk memfasilitasi pembangunan proyek-proyek multi gate lintas negara, bangsa dan daerah, dengan mengembangkan politik pintu terbuka di berbagai daerah Kabupaten. Para pemimpin daerah hendaknya memiliki ketahanan diri dalam membangun daerah. Sedikit tidak mengurangi kecendrungan menggunakan uang negara secara tidak bertanggunjawab. Semangat raja lima tahunan yang hanya meminta upeti tanpa membangun, harus bergeser ke paradigma raja lima tahunan yang membangun untuk meningkatkan upeti. Managemen pembangunan daerah hendaknya belandaskan kekuatan dan potensi lokal yang digerakan dengan pendekatan community base developmnent. Pembangunan daerah harus dimulai dan berada serta dilakukan oleh masyarakat. Dengan kata lain pembangunan yang demokratis hanya akan tercapai melalui demokratisasi pembangunan dengan mengembangkan nilai kemandirian, dan keberdayaan yang pernah ada di masyarakat kita. Penataan birokrasi pemerintahan yang service oriented, ketimbang lead over and by pass, dan pengembangan qualitiy service mindset dari semua pelaku pemerintahan. Pengembangan karakter institusi dan capasitas organisai pemerintahan yang digerakan oleh perangkat dan aparatur yang handal dan memiliki jaringan dan relasi global yang dapat digerakan dengan potensi lokal., serta memiliki simpati lokal dalam menjaring kekuatan global untuk menggerakan kekuatan lokal yag tersedia berdasarkan local genus.



Berselancar lebih cepat.
Internet Explorer 8 yang dioptimalkan untuk Yahoo! otomatis membuka 2 halaman favorit Anda setiap kali Anda membuka browser.Dapatkan IE8 di sini! (Gratis)

memasuki dunia blogger, akau mau menyapa semua sahabat seantero jagat untuk saling kontak. Salam perdana buat yang mengunj


PEMASYARAKATAN NASIONALISME INDONESIA DAN IDEALISME BUNG KARNO OLEH PERPUSTAKAAN NASIONAL RI UPT PRPUSTAKAAN BUNG KARNO KERJA...