Sabtu, 05 Februari 2011

ARTIKEL TESIS

 
DALAM       

PEMERINTAHAN DESA WOLOGAI
KECAMATAN DETUSOKO
KABUPATEN ENDE




Pendahuluan.

Pemerintahan desa merupakan bagian yang integral daripada sistem pemerintahan Indonesia. Secara konseptual pemerintahan desa merupakan suatu proses hubungan pemerintahan yakni hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Argumen di atas didasarkan pada pemahaman dasar tentang pemerintahan sebagai suatu gejala sosial.   Sebagai suatu gejala sosial pemerintahan sebagaimana suatu proses hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah, merupakan bagian daripada suatu proses sosial yang berakar dari adanya  relasi antara manusia  mulai dari elemen terkecil, yakni keluarga kemudian berlanjut kepada suatu komunitas, dan perkumpulan masyarakat tertentu sehingga oleh Mc.Iver ( 1985 : 30 - 31 ) dikatakan bahwa  “hubungan antar manusia dengan manusia dimana saja, akan selalu terdapat bibit pemerintahan.  Menurutnya  Pemerintahan adalah suatu  gejala  yang muncul dalam kehidupan sosial”.
Pemerintahan merupakan suatu realitas sistem sosial yang secara organismik terdiri dari komponen dan elemen-eleman yang memiliki struktur dan fungsi-fungsi. Peranan struktur dan pengembanan fungsi oleh struktur dalam proses pemerintahan bergerak dalam kerangka keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan hubungan antara pemerintahan dengan yang diperintah. Kerangka dasar ini didasarkan pada esensi mendasar tentang pemerintahan yang berawal dari manusia dan berakhir pada manusia. Manusia dalam konteks ini  baik sebagai individu dan maupun sebagai anggota masyarakat.  Dengan demikian keberadaan manusia dalam proses pemerintahan sebagai suatu proses relasi sosial bergerak dalam kerangka perlindungan hak-hak individu, dan  pemenuhan kebutuhan, tuntutan dan kepentingannya dengan menempatkan aspek keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan guna menghindari konflik yang terjadi dalam proses relasi sosial dimaksud.  Argumen di atas didasarkan pada pendapat Ndraha ( 2003 : xxvi) yang mengatakan bahwa :
secara makro begitu manusia diciptakan  dan secara mikro  begitu manusia terbentuk di dalam kandungan ibunya,  ia mempunyai hak ( right ) eksistensial  ( HAM) yang harus diakui, dihormati, dilindungi, dan dipenuhi dan naluri ( instinc ) yang harus terkontrol agar tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri, dan orang lain.

Pada tataran empiris, pemerintahan adalah suatu proses  sosial yang dibangun untuk mewujudkan adanya tertib sosial sebagaimana diuraikan di atas. Untuk mewujudkan  hal dimaksud maka dibentuk berbagai unit, organ, atau lembaga yang secara hirarkis – struktural berperan dan berfungsi untuk mengatur hubungan dengan meletakan prinsip dasar  hubungan pemerintahan ( hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah ) yang harmonis, selaras, dan  seimbang. Kondisis hubungan ini sangat ditentukan oleh dua sistem nilai yang terdapat pemerintahan sebagai suatu sistem, dengan yang diperintah (masyarakat) sebagai suatu komunitas sosial. Untuk mewujudkan proses hubungan pemerintahan, maka dibentuk unit,organ atau badan yang disebut pemerintah. Unit, organ, atau badan itu secara operasional tergorganisasi sedemikian hingga menyentuh titik terakhir hubungan itu dengan menempatkan salah satu unit organisasi pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat sebagai pihak yang diperintah. Unit itu dalam sistem pemerintahan Indonesia dikenal dengan desa.
Secara konseptual desa dapat dipahami berdasarkan pendekatan  yang lazim dipergunakan  ialah : pendekatan sosio kultural, demografis, yuridis formal, dan administratif negara atau ketatanegaraan ( Ndraha, 1984 : 45 ). Dalam perspektif administrasi negara, desa merupakan suatu unit organisasi pemerintahan ( Rural government organization ) yang sangat berbeda dengan kota ( urban ). Karakter mendasar daripada “Rural government organization”  menurut Roucek  ( 1964 : 81 ) is  burdened with a multiplicity of government units which have little correspondence with community boundaries, and are too numerous for efficient administration. Artinya pemerintah desa  selalu  memikul resiko ( beban ) pemerintah di atasnya, sementara hubungan antara unit pemerintah diatasnya sangat sedikit yang melakukan kontak langsung dengan masyarakat desa. Yang dilakukan oleh unit-unit pemerintah di atas desa  adalah semata-mata untuk kepentingan politik kenegaraan dan administrasi pemerintahan.
Desa secara historis merupakan suatu unit sosial budaya yang direduksi dari komunitas-komunitas sosial masyarakat  yang telah ada dan berkembang sejak dahulu yang tersebar diberbagai daerah di Indonesia. Desa dengan berbagai sebutan lokal sebelumnya, telah diatur menurut konstitisusi Negara sebagai sub sistem pemerintahan. Secara sosiologis dan antroplogis, desa tetap diakui sebagaimana aslinya,  dan secara normatif dan konstitusional,  desa ditempatkan sebagai salah satu unit pemerintahan Negara yang ikut mengemban tugas dan fungsi pemerintahan yang diatur  menurut Undang-Undang. Latar belakang pembentukan desa adalah sejarah dan adat istiadat masyarakat. Setting pembentukan desa sebagai suatu sub sistem pemerintahan adalah demokratisasi dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian alasan konseptual yang hendak ditanamkan dalam proses pemerintahan desa adalah terakomodasikannya nilai-nilai budaya masyarakat dan nilai-nilai sistem pemerintahan. Secara antropologis,  desa-desa di Indonesia bila ditinjau dari aspek sejarah, adalah bentukan dari desa-desa asli, sebagaimana menurut menurut Soemardjan ( 1992 : 4-5 ) :  bahwa secara historis,   diketahui  bahwa hampir semua desa pada mulanya merupakan desa asli,    dimana keaslian desa itu ditunjukan melalui beberapa hal yakni   :
pertama : sumber penghidupan masyarakat Desa adalah tanah yang dimanfaatkan dengan sistem pertanian atau perkebunan. Sumber penghidupan masyarakat pantai  adalah laut yang menimbulkan masyarakat nelayan. Kedua : tata hidup dan tata hubungan sosial masyarakat Desa, berkembang untuk social subsistence ( keperluan sosial sendiri ) dengan menggunakan pengalaman hidupnya sendiri. Perkembangan ini menciptakan adat yang dalam beberapa hal menguat menjadi hukum adat, dan menjadi landasan pemerintahan desa dengan segala kelengkapanya. Ketiga : dalam kehidupan terisolasi dan kolektif  berdasarkan adat itu, tumbuh masyarakat desa. Menururt ilmu  etnologi zaman Belanda dinamakan “adat gemeenschap” ( kesatuan masyarakat  adat ) yang meningkat menjadi “adat-recht-gemeenschap”  ( kesatuan masyarakat hukum adat ). Adat hanya berisikan pedoman hidup sosial dan tiap warga masyarakat diharapkan menghayatinya. Sementara hukum adat mengandung peraturan dan larangan yang diperkuat dengan ancaman hukuman dan memerlukan peradilan yang melembaga.

Desa Wologai merupakan salah satu Desa di Kabupaten Ende yang masyarakatnya masih  memegang teguh budaya dan adat Lio.  Desa Wologai secara geografis berada di wilayah tengah  Kabupaten Ende dengan karakteristik dan ciri unik di antara suku-suku Lio lainya. Dalam penggolongan masyarakat etnik Lio, mereka disebut sebagai orang Wologai yang memiliki wilayah dan persekutuan adat sendiri.  Persekutuan  masyarakat adat  Desa Wologai  disebut           “ persektuan adat  Wologai “. 
Berkenaan dengan adat Lio,  ditemukan berbagai hal menarik sebagaimana dikemukakan oleh berbagai informan bahwa nilai-nilai budaya dan adat istiadat Lio memiliki berbagai kearifan dan  segudang nilai-nilai, yang sangat konstruktif bagi kehidupan masyarakat sepanjang jaman. Namun nilai-nilai ini tidak mudah diterima seiring dengan perkembangan jaman yang semakin rasional dan sekuler. Adat Lio juga dalam perjalanan jaman tidak lepas dari pengaruh perubahan dan perkembangan jaman itu sendiri, sehingga kadang tenggelam, dan sirna dibalik dinamika perubahan   itu sendiri. Budaya dan adat dianggap lamban, kuno, dan  kurang rasional, serta bernuansa magis/mistik.  Dalam perspektif masyarakat  moderen, budaya dan adat istiadat dianggap milik masyarakat  pedalaman yang masih kolot. Kecuali yang memiliki nilai jual yang tinggi karena sangat  atraktif seperti  lagu-lagu bernuansa budaya Lio dan sarung tenun “Lawo dan ragi     ( sarung/ selimut )” serta tarian rakyat Gawi, Wanda pau( tarian gendang dan suling), go lamba( gong dan gendang ).  Produk budaya dan adat istiadat  telah menjadi konsumsi masyarakat secara tak terkendali sehingga kehilangan nilai dan makna. Nilai dan makna budaya telah tenggelam  dalam rasionalisme dan sekularisme sehingga melunturkan kadar kepatuhan dan kepatutan.  Budaya menjadi  alat kekuasaan formal  atau menjadi kambing hitam kegagalan pembangunan dan pemerintahan. Budaya  sering dieksploitasi guna kepentingan kekuasaan dan bisnis. Memobilisasi para Mosalaki  untuk memperoleh dukungan politik, atau mengeksploitasi setiap potensi budaya tradisional untuk kepentingan pariwisata yang tidak sejalan dengan momentum dan  manfaat dasar atraksi tersebut sehingga kehilangan kadar keaslian, dan melemahkan nilai ketaatan serta kepatuhan warga.  Seiring  dengan itu juga rendahnya motivasi generasi muda di Wologai sebagai pewaris budaya  untuk  terlibat dalam pelestarian budaya dan  adat Lio,  sehingga makna dan nilainya cenderung  melemah untuk beberapa generasi ke depan.
Dalam konteks pemerintahan, pemerintah desa sebagai unit/organ pengelola pemerintahan desa memiliki kinerja yang rendah karena menghadapi dua desakan progresif yang berasal dari kekuatan sosial yang berhimpitan yaitu kebijakan pemerintah formal dengan tuntutan kearifan lokal yang berasal dari hukum adat setempat. Keadaan tersebut di atas kemudian berimplikasi  terhadap adanya harapan akan peran  budaya dan adat  istiadat dalam pengaturan kehidupan masyarakat sebagai suatu unit sosial budaya, atau kesatuan masyarakat hukum adat yang otonom ( pemerintahan adat), dan peran  pemerintah dalam membuat kebijakan tentang pemerintahan desa sebagai suatu sub sistem pemerintahan  dalam Negara. Artinya pemerintah desa secara organisatoris dan struktural mengalami tekanan regulasi politik formal yang dominan dengan desakan kekuatan nilai-nilai adat yang sudah berkembang dan mentradisi. Ke atas pemerintah desa sebagai unit pemerintahan lokal harus mampu menjabarkan kebijakan pemerintah di atasnya dalam kerangka hukum adaministrasi negara, dan ke bawah pemerintah desa juga harus mampu mengakomodasikan  nilai-nilai adat yang mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan hukum yang adat yang telah mentradisi. Secara empiris fenomena ini dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain melemahnya nilai gotong royong dan partisipasi karena model pembangunan desa yang sangat berorientasi proyek, penerapan hukum yang statis dan berorientasi pada kepastian hukum bukan pada kepastian perilaku,  model demokrasi yang perwakilan yang prosedural, dan kepemimpinan pemerintahan desa yang sub ordinat atau berorientasi kepada kepentingan kekuasaan pemerintah diatasnya.
 Dalam masyarakat Lio,  terdapat banyak  praktek budaya dan adat istiadat Lio  yang dipegang teguh oleh  seluruh “anak kalo fai walu”  ( sebutan bagi masyarakat/warga adat Lio ) dibawah kepempinan para pemimpin adat yakni Mosalaki selain karena memiliki kekuatan magis, juga karena merupakan warisan turun temurun serta memiliki kekuatan mengikat. Produk  adat Lio yang masih dianggap sakral, dan magis  dalam bahasa Lio disebut : “bhisa”( angker ), atau “bhisa kia”(  sangat angker ) antara lain : Rumah Adat dengan pelataranya  ( keda kanga ), patung  kayu  sebagai simbol nenek moyang yang disebut “ana deo”,  dengan tempat penyimpananya (Keda Kanga ),  upacara  menjelang  tanam dan panen “tedo mulu” dan “keti mulu” serta berbagai larangan,  pantangan dan sumpah  konstruktif seperti “pire” dan “tura jaji”, tutur adat“bhea”, nasihat dan petuah yang dikenal dengan “nau dan bhabho kajo”.  Tradisi mencari ramuan rumah adat di hutan secara gotong royong yang dikenal dengan “ poto wolo renggi keli”, dalam semangat “ wora sa wiwi nunu selema”( semangat seia sekata dalam tutur dan tindakan ). Nilai keteladanan dan konsistensi Mosalaki dalam memimpin, “ wiwi mae rua telu,  lema mae lima sutu” ( tidak bercabang lidah, dan bermulut banyak), dan lain-lainya.
Keberadaan budaya dan adat istiadat ditengah masyarakat yang tetap dipelihara karena budaya dan adat istiadat memiliki makna dan nilai bagi pengaturan kehidupan bersama dalam berbagai aspek kehidupan. Ada tiga komponen yang melingkupi pengaturan kehidupan bersama dalam masyarakat adat  yakni : pertama : adanya berbagai produk aturan atau hukum adat yang mengikat, kedua : adanya lembaga atau pranata adat yang dapat memberi gambaran akan adanya  struktur, fungsi,  dan stratifikasi sosial dalam masyarakat, dan  ketiga : adanya kelompok elit yang memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk menjadi pemimpin dalam mengatur kehidupan bersama. Sepanjang kehidupan masyarakat Lio, adat tetap dianut, kemudian diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dengan demikian budaya dan adat istiadat Lio tidak pernah akan punah.  Khususnya dalam  pemerintahan desa, budaya atau  adat Lio masih menjadi salah satu komponen yang sangat berpengaruh significan karena kebiasaan masyarakat Lio yang hidup berkelompok sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum sebagaimana yang dilakoni sekarang dalam praktek pemerintahan formal. Sehingga dalam praktek pemerintahan formal ada unsur-unsur budaya Lio yang dapat ditransformasi dan diadopsi guna  menjadi daya dukung bagi penyelenggaraan  pemerintahan desa. Maka itu dalam praktek budaya dan adat istiadat Lio ada nilai-nilai yang dapat dipetik untuk ditransformasi dan diadopsi melalui proses : akulturasi, inkulturasi. Bagaimanapun  pemerintahan sendiri merupakan proses budaya dalam arti bahwa akar dari terbentuknya pemerintahan Desa, adalah budaya setempat. Adanya kultur manusia yang hidup berkelompok, ada yang mengatur, dan ada aturan main (hukum ). Ada mekanisme pengaturan hak dan kewajiban,  kewenangan dan kekuasaan absah, pemimpin dan yang dipimpin.  Dalam budaya atau adat Lio, ada pola kehidupan berpemerintah yang berakar pada adat istiadat. Ada unsur pemimpin yang mengatur, ada produk hukum,  ada lembaga adatnya. Dibalik semuanya itu akar pemerintahan adat yang selayaknya dijadikan rujukan dalam membangun citra pemerintahan formal masa kini  sebagaimana telah dikukuhkan dalam Undang-Undang formal. Namun dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan pemerintahan adat (asli) tergeser oleh hadirnya  bentuk-bentuk pemerintahan formal. Pergeseran ini terjadi karena adanya pandangan umum terhadap pemerintahan asli diberbagai kawasan yang memiliki ciri feodal, otoritarian, otokratis, kolegial, komunal, dan religius. Konsep pemerintahan dalam adat Lio didasarkan pada beberapa hal penting yaitu : adanya unsur magis dan mistik, adanya amanah dan perintah leluhur yang harus ditaati  ( hukum /peraturan adat ),  dan adanya struktur kepemimpinan adat yaitu Mosalaki, sebagai pemangku adat yang menjalankan fungsi kepemimipinan  pemerintahan adat.  Eksistensi  Mosalaki ( Laki Ria ) yang tediri   dari 7 besar  ( laki lima rua  ) sebagai  bentuk pemerintahan yang oleh P. Sareng Orinbao disebut dengan “Pemerintahan kolegial sapta  tunggal”  merupakan model  kepemimpinan kolegial dalam sistem pemerintahan adat Lio yang selalu  berperan  dalam  mengatur kehidupan sosial  masyarakat.   Adanya bebagai aturan adat yang merupakan kebiasaan turun temurun yang mengikat dan ditaati, serta ditakuti, yang kemudian direduksi sebagai bentuk hukum adat yang bersifat konvensional.  Adanya kelompok-kelompok masyarakat yang terhimpun secara genealogis yang dikenal dengan suku/klen ( sao ria ), dan secara teritorial berada di berbagai sub-sub wilayah kekuasaan adat seperti : kopokasa ( pondok dan kandang), dan kebesani  ( kebun/lahan). 
Secara normatif sebenarnya penyelenggaraan Pemerintahan Desa Wologai harus dilaksanakan berdasarkan budaya  masyarakat  atau  orang-orang Wologai sebagai warga adat Lio. Sebagaimana masyarakat Wologai,  begitu pula seharusnya penyelenggaraan Pemerintahan Desa Wologai harus dilakonkan dan diterapkan. Artinya hubungan antara masyarakat Wologai dengan pemerintahnya harus berada pada bargaining position dan bargaining power yang seimbang dalam mengemban  peran untuk memajukan Desa Wologai.  Penyelenggaraan Pemerintahan di  Desa Wologai yang demokratis,  berkeadilan,  berbudaya, dan bertanggung jawab, dapat tercapai dengan cara mengadopsi dan mereduksi nilai budaya  Lio.  Nilai-nilai adat Lio pada  tataran normatif diakui sebagaimana adanya,  namun dalam  praktek  penyelenggaraan pemerintahan  desa,  nilai –  nilai ini kurang diberi tempat sesuai dengan kedudukanya, sehingga  perananya semakin melemah. Penyelenggaraan pemerintahan Desa berjalan tersendat-sendat karena  antara  pemerintah formal dengan para pemangku adat bersama masyarakat adatnya terdapat konflik peran. Kedua unsur ini berada dalam dualisme progresif, dimana secara bersama memiliki komitmen untuk memajukan masyarakat yang sama dengan membangun peran  secara berbeda berdasarkan frame yang berbeda-beda. Ada berbagai faktor yang ikut mempengaruhi hal di atas. Fakta empiris menunjukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa lebih didominasi oleh  kepentingan politik kekuasaan,  administrasi pemerintahan,  dan struktur birokrasi.  Desa secara organisatoris ditempatkan dalam posisi bargaining yang lemah terutama bila ditinjau dari aspek finansial dan administrasi. Seluruh pembiayaan dan penyelenggaraan administrasi sepenuhnya diatur menurut kepentingan aturan formal, sehingga desa memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pemerintah di atasnya. Selain itu adanya cara pandang  dan orientasi nilai yang saling berbeda  antara pemerintah, dan masyarakat dalam menyikapi berbagai sistem nilai yang terdapat  di dalam keduanya. Desa sebagai suatu komunitas sosial yang terikat dengan norma dan aturan adatnya, harus diikat lagi dengan aturan sistem formal pemerintahan yang menempatkan desa tak lebih dari suatu sub sistem pemerintahan sebagaimana diatur menurut Undang-Undang.
Dalam posisi demikian, ada dua kekuatan yang memiliki semangat  yang sama untuk membangun  karakter desa  yakni pemberlakuan desa menuju sifat uniformitas, dan tuntutan akan format desa secara diferens sesuai latar belakang sejarah dan adat istiadatnya.  Sebagai suatu unit pemerintahan otonom,   desa juga tetap sebagai suatu sistem sosial, komunitas budaya, kesatuan masyarakat hukum adat, dan unit  pemerintahan adat, yang harus diakui.   Dengan demikian  desa  sebagai suatu unit pemerintahan formal sebagaimana diatur dalam berbagai aturan hukum formal, dapat diletakan secara proporsional menurut tata hukum adat dan budaya setempat, untuk menjawab tuntutan pengembangan pemerintahan desa sesuaia dengan latar belakang sejarah dan adat istiadatnya. Disini budaya lokal   harus menjadi sumber nilai bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan pengembangan pemerintahan desa, dengan argumen dasar bahwa budaya lokal  adalah bagian yang integral dari kehidupan sosial masyarakat desa, dengan kedudukan yang integral dalam seluruh proses sosial masyarakat, memiliki peran  dalam mempengaruhi perilaku dan orientasi masyarakatnya. Dengan kata lain kedudukan dan posisi adat dalam kehidupan masyarakat merupakan  kunci dalam membangun peran masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. 
Pemerintahan desa adalah suatu proses hubungan pemerintahan ( hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah ) halmana penggerak utamanya adalah “pemerintah desa”. Pemerintah desa menurut perspektif kelembagaan adalah organ publik yang mengelola desa sebagai suatu badan publik. Sebagai badan publik,  pemerintah desa adalah lembaga formal yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal yang diharapkan  memiliki kinerja tinggi  dalam memtransformasikan nilai budaya masyarakatnya untruk dijadikan preferensi bagi proses pemerintahan. Walau demikian persoalan yang mendasar dalam mewujudkan peran transformatif itu, pemerintah desa secara kwalitatif diperhadapkan pada dimensi kwalitas aparat desa yang kurang kompatibel dengan tuntutan perkembangan pemerintahan.
Berdasarkan  uraian dan fenomena empirik  yang diuraikan diatas, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian dan kajian berupa tesis dengan judul : Peranan Adat Lio Dalam Pemerintahan Desa Wologai, Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende.


Permasalahan.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka dapat dirumuskan pernyataan masalah ( problem statemen ) dalam penelitian ini sebagai berikut :
1)        Pemerintah desa Wologai belum sepenuhnya mengakomodasikan berbagai nilai adat Lio antara lain seperti : bhou lo mondo tebo, tura jaji, pire, nau, bhea, pati ngebo, dan bhabho kajo, dalam menunjang kinerjanya sebagai aparat pemerintah desa.
2)        Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kabupaten Ende terutama di kawasan  persekutuan adat Lio belum didasarkan kepada nilai-nilai adat  Lio sehingga ikut berdampak  terhadap rendahnya kinerja aparatur pemerintah di desa.
3)        Belum adanya komitmen kuat dari Pemerintah Daerah Kabupaten Ende untuk mentransformasikan berbagai nilai adat Lio yang dipandang penting guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan Desa.
Berpijak dari pernyataan masalah (problem statemen) di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1)    Mengapa Kinerja Pemerintah Desa rendah ?.
2)    Bagaimana nilai-nilai adat Lio dapat diakomodir dalam rangka menunjang penyelenggaraan Pemerintahan Desa ?.
Pembahasan.
Peranan adat adalah suatu konsep peranan sosial, karena berkaitan dengan kedudukanya yang integral dengan masyarakat sebagai suatu organisma, sebagai suatu komunitas, dan masyarakat sebagai suatu organisasi. Peranan adat dimaksud disini dapat penulis uraikan berdasarkan pendapat tentang peranan sosial menurut Soekanto ( 1990 : 243 ).  Jadi peranan sosial adat  tak lain adalah : (1) peranan adat meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi adat dalam masyarakat yang bersifat integral dan utuh. Peranan adat dalam  hal ini merupakan rangkaian peraturan, norma, hukum  yang membimbing  masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan. (2 ). Peranan adat adalah suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh adat sebagai suatu sumber nilai terhadap masyarakat sebagai organisasi. (3).  Peranan adat juga dapat dikatakan sebagai pola-pola periklaku  yang relevan dan penting bagi struktur sosial masyarakat.  Peranan adat dalam hal ini dapat diwujudkan melalui bebagai cara atau alat ( vehicle), yang sudah melembaga dan terjadi secara terus menerus, dan berulang-ulang sepanjang kehidupan masyarakat.
Peranan adat dalam masyarakat berkenaan dengan perubahan perilaku,  sikap, dan orientasi masyarakat.  Adat selain dapat diwujudkan dalam bentuk person, barang,/benda, institusi, aturan/hukum, yang dapat didefenisikan kedalam  pola perilaku yang diharapkan dari seseorang, adat juga dapat digambarkan sebagai perangkat/instrumen yang dapat memainkan sejumlah peran yang saling berkaitan. Merton ( 1957 : 369 ). Dalam adat Lio, terdapat berbagai aturan, norma, hukum, lembaga, dan orang-orang yang memiliki pengaruh terhadap perilaku, sikap, dan pola-pola tingklah laku bagi masyarakat. Secara empiris nampak dalam berbagai hal antara lain : bahasa, rumah adat, cara bertindak, berbicara, barang-barang  rumah tangga, tata perkampungan, lembaga-lembaga adat, para pemimpin adat, motif tenunan, karya seni seperti tarian, lagu-lagu, patung ( sakofag) dan lain-lain.
Sesuai dengan observai penulis dan wawancara dengan berbagai nara sumber, ditemukan beberapa aspek adat yang kedudukanya kuat dan memiliki nilai konstruktif serta berperan dalam kehidupan masyarakat desa, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Aspek-aspek itu antara lain : hukum adat Lio dengan nilai keharmonisan dan keselarasan,  bou lo mondo tebo dengan nilai demokrasi  ( musyawarah mufakat), dan  pati ngebo ( pembagian lahan garapan) dengan nilai pelayanan kepada masyarakat, Mosalaki dengan nilai kepemimpinan kolegial. Uraian tentang aspek-aspek diatas tidak dapat dilakukan secara rinci karena  keterbatasan penulis dalam aspek waktu dan  dana. Uraian ini akan membatasi diri pada jawaban atas pertanyaan bagaimana aspek-aspek itu dapat diberi peran dalam masyarakat terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, dan kemampuan pemerintah desa /aparat desa dalam mengakomodasikan nilai-nilai adat untuk mendukung kinerjanya.
Dalam sistem pemerintahan, ada tiga komponen utama sebagaimana dikatakan oleh Rasyid ( 2002 : 60- 61) yaitu aturan main (konstitusi, hukum, etika), lembaga, ( yang berwenang melaksanakan aturan main ), Pelaku                          ( khususnya pemimpin yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang melekat pada lembaga-lembaga). Begitu pula Pemerintahan desa sebagai suatu sistem, terdiri dari tiga komponen utama tersebut.  Ketiga  komponen disatas dalam praktek pemerintahan desa bergerak dalam dinamika hubungan  pemerintahan  ( hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah ) dalam posisi dan peran masing-masing  sebagaimana menurut Ndraha ( 2003 : 345) bahwa :
Sistem pemerintahan juga terdiri dari komponen dinamik bergantung pada posisi dan peran pemerintah dengan yang diperintah, dan interaksi yang satu dengan yang lainya. Diantara posisi dan peran itu ada beberapa set yang relatif denominatif, yaitu sistem yang terdiri dari : (1). Yang diperintah sebagai pemegang hak dengan pemerintah sebagai pengemban kewajiban; (2). Yang diperintah yang memberi kewenangan kepada pemerintah, dengan pemerintah sebagai pengemban tanggung jawab kepada yang diperintah; (3). Yang diperintah sebagai  produser dengan pemerintah sebagai konsumer. 
Hakekat  mendasar dari hadirnya sebuah negara dan pemerintah mula-mula dapat dilihat dari hadirnya seperangkat hukum yang berlaku secara sah, dan mengatur serta memaksa orang-orang untuk taat pada aturan hukum itu. Argumentasi diatas menunjuk pada argumen dasar  menurut C. F. Strong   ( 2004 : 7 ) ;  “tentang hakekat suatu negara yang membuatnya berbeda dengan semua bentuk perkumpulan lain adalah kepatuhan anggota-anggotanya terhadap hukum”,  dan  “hukum sebagai sekumpulan aturan-aturan umum yang ditetapkan oleh penguasa masyarakat  politik ( Negara ) terhadap anggota-anggota masyarakat tersebut yang secara umum mematuhinya”. Untuk itu kebijakan penataan pemerintahan desa harus diletakan pada  selain argumen dasar  tentang dasar negara hukum ( pendekatan konstitusional),  juga pada argumen dasar tentang  ubi societas, ubi ius / dimana ada masyarakat disitu ada hukum (pendekatan fungsional) sebagaimana dikatakan oleh Bayusuryaningrat (dalam Ndraha  2003 : 425 ). 
Desa Wologai sebagai sub sistem pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara  legal-formal diselenggarakan dalam kerangka hukum yang “dualisme progresif” yaitu antara hukum Negara (administrasi pemerintahan), dan hukum adat Lio. Oleh karena itu secara konstitusional penerapan hukum di dalam wilayah ini dalam kerangka negara, bersumber dari dua sumber hukum  sebagaimana menurut Strong ( 2004 : 8 ) yaitu :
1)        Adat istiadat atau kebiasaan yaitu hukum tak tertulis yang biasa diberlakukan karena sering dipergunakan.
2)        Keputusan tertulis dari pengadilan-pengadilan sebelumnya – yaitu yang sering disebut sebagai hukum kasus ( made law) atau hukum yang kebiasaan ( common law);
3)        Hukum tertulis yaitu undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislative atau parlemen di suatu Negara.

Untuk memahami peranan hukum adat dalam  pemerintahan desa, penulis menggunakan pendekatan empiris sebagaimana di katakan oleh Ndraha ( 2003 : 429), dimana perlu dibangun pemahaman mendasar tentang pemerintahan, kemudian  meletakan konsep hukum sebagai bentuk perhubungan hukum antara pemerintah dengan yang diperintah. Apabila pemerintah dipahami sebagai suatu “proses hubungan pemerintahan (hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah)”,  dan hukum sebagai  “sekumpulan aturan-aturan umum yang ditetapkan oleh penguasa masyarakat politik ( negara) terhadap anggota-anggota masyarakat tersebut yang secara umum mematuhinya” ( Strong, 2004 : 7) ( proses hubungan antara  Negara dengan  masyarakat), maka  pelandasan kajian ini diletakan pada hukum adat sebagai input bagi pemerintahan, dan pemerintah desa sebagai subyek hukum yang memiliki kewenangan absah untuk membuat dan menetapkan aturan hukum sebagai landasan bagi proses pemerintahan desa.
Untuk memahami sistem hukum adat dalam kajian ini, penulis menelusuri proses pembidangan hukum adat menurut Soerjono Soekanto yang mencoba merangkum berbagai  pendapat  antara lain Van Vollenhoven, Soepomo, Wignjodipuro.  Pembidangan hukum adat untuk menentukan unsur-unsur  hukum adat, selanjutnya sampai pada kesimpulan bahwa : pembidangan hukum adat harus merupakan suatu refleksi dari suatu sistem masyarakat yang mendukung hukum tersebut. ( Soekanto, 1983 : 120 ).  Berdasarkan argumen di atas, maka  sistem hukum adat dapat ditinjau dari unsur-unsur sebagai berikut : (1). kepercayaan, ( 2 ) perasaan, (3). tujuan, (4). kaidah.(5), kedudukan, peranan, dan pelaksanaan peranan, (6). tingkatan atau jenjang, ( 7). sanksi.(8). kekuasaan. (9). fasilitas. ( Soekanto 1983 : 131-132). Pendapat lain sebagaimana dikatakan oleh  Scholten ( dalam Soepomo  1967 : 22 ) bahwa :
“tiap-tiap hukum merupakan suatu  sistem, yaitu peraturan-peraturanya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitu pula hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai alam pikiran hukum barat. Untuk dapat sadar akan sistim hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia”.
Dalam pemerintahan Desa Wologai  peranan hukum adat Lio pada prinsipnya mengikuti  argumentasi di atas. Sebagai unsur pemerintah, pemberlakuan hukum adat Lio dalam tata pemerintahan desa sangat ditentukan oleh peran aparat pemerintah desa untuk memainkan peranan  yang  selain transformatif,  juga transaksional, sebagai akibat dari kedudukanya yang ascribed dan achcieved.  Pemerintah desa berada dalam dua posisi dan peranan yang berhimpitan. Kemampuan pemerintah desa  untuk mentransformasi nilai-nilai hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan suatu fenomena sosial yang menjadi indikator bagi penegakan hukum lokal dalam kerangka law enforcemen di dalam  proses pemerintahan. Indikator utama adalah kinerja aparat desa untuk mereduksi nilai-nilai hukum adat sebagai input bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai fasilitator dalam menggerakan kekuatan hukum yang bersumber dari adat istiadat Lio, aparatur pemerintah desa Wologai secara faktual belum memiliki  referensi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Oleh karena salah indikator suatu pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah terumuskanya berbagai kebijakan yang bersifat mengatur, mengikat, dan memaksa, maka bagi aparatur pemerintah  desa Wologai hal ini masih jauh dari harapan. Belum adanya produk aturan di tingkat desa yang merupakan ramuan dari hukum adat Lio dan dijadikan  sebagai landasan bagi penegakan hukum. Oleh karena itu dalam menghadapi berbagai kasus, terjadi kecenderungan untuk menggunakan pranata hukum formal sehingga mengakibatkan ketergantungan kepada institusi hukum formal dengan alasan tidak tersedianya kepastian hukum. Selain itu pula kemampuan aparatur pemerintah desa untuk menginterpretasi nilai-nilai hukum adat Lio yang kemudian ditransformasikan ke dalam berbagai kebijakan formal masih sangat lemah. Fenomena ini ikut dipengaruhi oleh  latar belakang pendidikan aparat desa Wologai yang kurang mendukung, dan jabatan sebagai aparat pemerintah desa bukan sebagai bagian dari profesi tetapi merupakan tugas sosial tambahan yang kurang memberi motivasi bagi mereka untuk berkinerja selayaknya birokrasi pemerintahan lainya.
Desa Wologai merupakan sub sistem pemerintahan Nasional yang secara organisatoris dan managerial diselenggarakan menurut hukum formal pemerintahan Indonesia. Sebagai organisasi formal, manegemen dan kepemimpinan desa juga bercirikan nilai-nilai formal sebagaimana diatur berdasarkan hukum formal. Kepemimpinan pemerintahan Desa Wologai dalam prakteknya selalu dibayangi oleh dua  nilai kepemimpinan yakni kepemimpinan pemerintahan dan kepemimpinan adat Lio. Munculnya Kepala Desa Wologai sebagai pemimpin merupakan fenomena sosial yang melewati suatu proses yang terangkum dari dua kapabilitas sosial yang dimilikinya yakni kapabilitas formal dan informal.  Begitu pula kepemimpinan adat Lio adalah  suatu fenomena sosial yang historical. Sebelum dinobatkan sebagai pemimpin (Mosalaki), seseorang harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang silsilah keturunanya  yang merinci uraian keturunanya hingga ke dirinya sebagai pewaris keturunan Mosalaki.  Mosalaki  adalah pemimpin adat yang fenomenal karena mereka memiliki kekuasaan dan pengaruh yang muncul dari kemampuan individu yang paham  tentang adat Lio  terutama tentang soal Mosalaki baik dari aspek sejarah, maupun dari aspek hukum adat. Penguasaan akan hal adat Lio dapat diukur dari kemampuan menguasai sejarah peradaban Lio sejak nenek moyang pertama, dan menguasai tata geografi dan topografi wilayah persekutuan secara deteil, serta memiliki kemampuan mentranformasi aturan hukum  nenek moyang ke dalam kehidupan sehari-hari, melalui bahasa adat yang dapat dipahami oleh seluruh warga adat.  Hal ini sejalan dengan Ndraha ( 2003 : 216 ) bahwa “kepemimpinan merupakan suatu gejala sosial dimana membutuhkan  kemampuan seseorang               ( suatu pihak ) untuk mempengaruhi orang lain melalui dirinya sendiri dengan cara tertentu sehingga (agar) perilaku orang lain itu berubah atau tetap, dan menjadi integratif”. Jadi kepemimpinan pemerintahan di desa selain memiliki  legitimasi formal, juga memiliki  kelayakan  tetentu  sehingga ia pantas sebagai pemimpin, diakui dan ditempatkan sebagai hak. Sebagaimana dikatakan oleh  Kleden  ( 2001: 14 ), mengemukakan bahwa :
 dalam prinsip legitimasi diandaikan bahwa pihak yang berhak memerintah bukan sekedar orang-orang yang berkwalitas tinggi ( seperti halnya para eksekutif atau manejer perusahaan ) tetapi pemimpin yang mempunyai kelayakan (worthness) tertentu yang diakui, dan karena itu berhak mendapatkan ketundukan dan kepatuhan warga.

Sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan desa yang otonom, dengan memberi peran  kepada masyarakat sipil untuk mengembangkan potensi dan sumber daya untuk kepentinganya, maka  perlu dibangun kerja sama yang harmonis antara pemerintah dengan masyarakat melalui penguatan lembaga-lembaga adat yang ada di masyarakat itu sendiri. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999,  adalah salah satu kebijakan pemerintah untuk mewujudkan pembangunan yang berorientasi dan berpusat pada masyarakat                  ( people centered development ). Keterlibatan lembaga adat dalam pembangunan masyarakat desa dapat dikatakan sebagai bentuk pemanfaatan sumber daya lokal yang mencoba menjawab tantangan dan pemasalahan pembangunan yaitu : kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan lemahnya partisipasi masyarakat.                        ( Bartolomeus Bolong, 2003 : 101). Dalam konteks pemerintahan, sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dapat dibangun dengan memberdayakan  lembaga-lembaga adat ini dalam strategi perumusan kebijakan untuk meningkatkan kepabilitas guna mengaktualisasikan potensi-potensi kearifan lokal yang telah ada.  Salah satu rumusan normatif tentang kedudukan dan peranan lembaga adat menurut Permendagri nomor 3 tahun 1997,  menunjukan bahwa  ada itikad baik pemerintah untuk merevitalisasi lembaga-lembaga adat dan pranata sosial masyarakat  yang secara ideal memiliki kontribusi sebagai komponen masyarakat dalam penyelengaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan Nasional. Dalam Permendagri ini, kedudukan lembaga adat sebagai “wadah organisasi pemusyawaratan/permufakatan para pengurus adat, pemuka-pemuka adat/masyarakat, yang berada di luar susunan organisasi pemerintahan”.  Sedangkan tugas-tugasnya adalah sebagai berikut :
1)         Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat,  dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
2)        Memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka mempekaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasayarakatan.
3)         Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat, dan pimpinan, atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.  
3)Selanjutnya lembaga adat memiliki hak dan wewenang sebagai berikut :
1)        Mewakili masyarakat adat keluar, yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat
2)        Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan da taraf hidup masyrakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik.
3)         Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai model konfigurasi institusi ( institusional configuration ) sebagaimana menurut  Roucek dan Warren ( 1964 : 95 )  yang merupakan  suatu “sistem interelasi dari berbagai institusi dalam masyarakat lokal ( particular)”, maka  legalisasi lembaga-lembaga adat di Lio seperti Mosalaki,  kelompok-kelompok keluarga/kekerabatan menurut suku  yakni “sao ria” ( kindsihip) dapat menjadi sarana sosial masyarakat desa untuk mengimbangi pembentukan berbagai lembaga  di tingkat desa untuk aneka ragam tujuan,  halmana institusi keluarga, masyarakat,  dan Mosalaki dapat berperan  sebagai “komponen kultural yang melandasi pengorganisasian kegiatan-kegiatan sosial dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial” ( Kuper adan Kuper : 1994 : 504 ).  Untuk itu  dibutuhkan aturan baku yang menyangkut prosedur dan mekanisme artikulasi hubungan dan kepentingan dalam masyarakat desa, melalui pembuatan kebijakan tindak lanjut  yang lebih teknis di tingkat daerah Kabupaten. Praktisnya adalah tindak lanjut peraturan dan kebijakan yang sudah ada dengan menginventarisir lembaga/institusi Mosalaki baik struktur, fungsi, hak, kewajiban, dan kewenangan,  melalui pemetaan secara deteil wilayah-wilayah hukum adat menurut sejarah dan latar belakang adat yang unik dan khas, dengan melibatkan lembaga-lembaga  penelitian, para akademisi, dan masyarakat serta institusi-institusi adat  itu sendiri.  Dalam masyarakat Wologai sebagai suatu komunitas sosial budaya, terdapat  institusi-institusi basis  yang menjadi landasan kebijakan pembentukan kelompok-kelompok berdasarkan tujuan tertentu. 
Dalam sebuah karya klasik Yunani  yang berjudul Polis,  dapat ditemukan makna tentang demokrasi. Demokrasi  sebagai suatu “konstitusi”  ( sistem pemerintahan), dimana masyarakat  yang lebih miskin bisa menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingan mereka yang acapkali berbeda dari kepentingan kaum kaya dan bangsawan. Kuper and Kuper  ( 1994 : 214 ).  Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia  yang terdiri dari kata kata “demos” artinya : rakyat, dan “kratos” artinya : pemerintahan. Jadi secara etimologis demokrasi adalah pemerintah oleh, dari dan untuk rakyat. Suhelmi                ( 2001 : 295 ).
Dalam penelitian yang dilakuklan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, tentang  Revitalisasi Demokrasi Komunitarian, ditemukan dialektika tentang model demokrasi leiberal versus  demokrasi  komunitarian.  Sutoro Eko mempertentangkan kedua paham demokrasi di atas dengan menolak pandangan tentang demokrasi liberal yang telah dibangun  selama ini dimana secara politis lebih menekankan kepada kebebasan individu                “one man one vote” sebagaimana dalam beberapa praktek demokrasi di desa seperti pemilihan Kepala Desa, pemilihan lembaga perwakilan desa ( BPD). Menurutnya prinsip demokrasi  adalah  :     
“mendengarkan dan menghargai orang lain.  Jika demokrasi  dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak”. Sebagai seni demokrasi adalah suatu cara atau seni “pergaulan hidup” untuk mencapai kebaikan bersama. Sebagai seni pergaulan hidup, demokrasi bisa diwujudkan dalam level prosedural dan kultural. Demokrasi pada level prosedural antara lain terkait dengan  mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, and artikulasi kepentingan rakyat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya atau tata krama  (fatsoen), pergaulan hidup sehari-hari dalam arena masyarakat sipil. Ini tercermin dalam kultur yang toleran, terbuka, egalitarian, bertanggung jawab, mutual trust (saling percaya),  kepedulian warga, kompetensi politik, dan seterusnya[1].

Memaknai demokrasi pada level desa Wologai, maka kedua model demokrasi ( liberal versus komunitarian, demokrasi pada level prosedural,  versus level kultural), penulis mencoba mengangkat beberapa fenomena empirik yang terdapat di Desa Wologai dalam perspektif kultur orang Lio sebagai suatu komunitas sosial-budaya, dan komunitas politik ( pemerintahan adat). Ciri pemerintahan adat Lio adalah komunal dengan kepemimpinan Mosalaki   yang kolegial (kolektif). Sareng Orinbao ( 1992 : 60 ) ”menyebutnya sebagai pemerintahan adat Lio itu jenis pemerintahan kolegial, berdasarkan musyawarah yang sepakat (bou)”. Masyarakat adat Wologai secara genealogis terfragmentasikan ke dalam kelompok-kelompok suku yang diwadahi oleh lima sao ria di bawah kendali para “Mosalaki Ria bewa”.  Lima sao ria ini dalam tata ruang kompleks rumah adat  Wologai, disimbolkan dengan lima buah rumah ( sao ria) yang masing-masing  ditempatkan mengelilingi rumah adat induk dan panggung adat (keda,  kanga, tubu ). Dalam praktek pemerintahan adat, peranan lima suku ini diwakili oleh para Mosalaki Ria bewa sebagai lembaga pemimpin yang mewakili ana kalo fai walu( anggota masyarakat adat) dalam  berbagai forum adat.  Pemilihan pemimpin ( Mosalaki ) dilakukan dengan tradisi “ so bhoka au”, dan “bui feo” yang dipilih dari generasi keturunan darah lurus Mosalaki ( “laki mata welu ana” :  Bapak mati meninggalkan anak, atau mata sa pi welu sa pi;  hilang satu generasi, tumbuh generasi berikutnya ) ( Orinbao : 1992 : 60). Fenomena empiris di atas merupakan suatu realitas politik dalam sistem pemerintahan asli Lio di Wologai yang bila diletakan dalam konteks demokrasi universal, membutuhkan pemahaman dan interpretasi partikular dan lokalistik. Oleh karena itu perlu dilakukan rekontekstualisasi nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat lokal sehingga demokrasi dalam tataran masyarakat desa dimaknai sesuai dengan kultur masyarakat desa setempat. Dengan demikian maka demokrasi tidak saja sebagai suatu ideologi tetapi lebih dari itu ia merupakan suatu cara atau seni pergaluan hidup untuk mencapai tujuan bersama dalam suatu masyarakat. 
Pembentukan Desa sebagai sub sistem pemerintahan merupakan upaya untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai suatu unit atau organ yang melaksanakan fungsi pelayanan, Desa secara organisatoris merupakan ujung tombak pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Untuk mewujudkan fungsi pelayanan, maka desa harus dikelola secara istimewa dengan pola dan mekanisme pelayanan yang memperhatikan nilai-nilai  budaya masyarakat.  Prinsip dasar yang dibangun dalam hal ini adalah adanya bukti tindakan pemerintah melalui jaringan pemerintah yang ada di desa berdasarkan asas masyarakat yang komunal, dan pemerintahan desa yang  cultural - populistik. Jadi penilaian terhadap “kinerja pemerintahan tidak hanya pada produk, tetapi lebih-lebih pada proses” ( Ndraha, 2002 : 17). Pemerintah Desa sebagai aparat ujung tombak harus memenuhi harapan masyarakat dan membangun kepercayaan ( trust ) masyarakat akan kehadiran pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Prinsip ini dimaksudkan agar tidak terjadi jarak  antara aparat pemberi pelayanan dengan masyarakat  halmana tidak diikat oleh format-format aturan yang mengekang, dan kaku serta keengganan masyarakat tehadap aparat pemerintah.  Uraian diatas didasarkan pada argumen bahwa pelayanan harus  menghilangkan jarak antara aparat pemberi pelayanan dengan individu  yang diberi pelayanan, dan  menghindarkan perlilaku yang membuat segan apalagi takut bagi bagi pihak yang diberi pelayanan                     ( Saefullah :1999: 10 ).  Patut  diakui bahwa pelayanan pemerintah di tingkat desa belum didukung dengan ketrampilan dan kemampuan administratif  aparat dan perangkat Desa. Dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki perangkat dan aparat Desa, sebenarnya sudah  cukup memadai  dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan di tingkat desa. Namun kemampuan teknis masih sangat rendah, karena belum didukung dengan bekal  pelatihan dan pembinaan. Masih terbatasnya pemahaman aparat pemerintah desa tentang nilai-nilai pelayanan pemerintah, dan kemampuan mengakomodasikan nilai-nilai  budaya masyarakat sehingga pola pelayanan tidak menjawabi tuntutan, kebutuhan dan tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat yang dilayani. Argumentasi diatas belum sesuai dengan pendapat Saefullah (1999: 11) bahwa : “dalam pelayanan umum perlu kiranya dipahami juga bahwa kunci utama dalam kegiatan pelayanan umum adalah manusia yang dilayani  telibat dalam proses pelayanan yang mempunyai karakteristik berbeda”. 



Rekomendasi
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat dikemukakan berbagaihal sebagai rekomendasi sebagaiberikut :
1.       Melalui pendekatan empiris, dan fenomenologis, adat istiadat dapat menjadi input sekaligus sebagai obyek (tujuan) bagi pemerintah yang dapat diupayakan dengan memperkuat aktor-aktor pemerintah di tingkat lokal yang dengan memberi bekal profesionalisme melalui penguatan managemen dan pengembangan budaya organisasi bagi aktor pemerintah.
2.       Dalam rangka membangun demokratisasi dalam sistem pemerintahan desa, upaya praktis yang dilakukan adalah re-enforcemen lembaga-lembaga adat yang ada, dan memperkuat serta memberdayakan aparat pemerintah desa  dengan menempatkan aparat pemerintah desa sebagai garis depan penyelenggaraan pemerintahan, dan secara organisatoris  desa harus dikelola secara strategis sebagai warung pemerintahan, melalui kebijakan pemerintahan yang menempatkan masyarakat pada bargaining posotion yang kuat untuk berpartisipasi aktif, dan memiliki daya kontrol bagi proses pembuatan kebijakan publik.
3.       Transformasi nilai-nilai hukum adat dalam menunjang penyelenggaraan hukum pemerintahan, sangat ditentukan oleh kemampuan aparat pemerintah di tingkat lokal ( Daerah Kabupaten, Kecamatan, dan Desa ) dalam mengkodifikasi nilai-nilai hukum adat yang  ada melalui proses penggalian nilai, adopsi, akulturasi, dan transmisi nilai, dengan menempatkan hukum adat sebagai sumber hukum bagi penyelenggaraan hukum pemerintahan. Upaya ini sangat membutuhkan komitmen aparat pemerintah  daerah sebagai pembina pemerintahan desa untuk mengembangkan relasi kerja sama dengan komponen masyarakat ( LSM, Akademisi) dengan mensponsori kegiatan pengkajian dan penelitian budaya untuk menggali dan menemukan nilai-nilai budaya yang konstruktif bagi penyelenggaraan pemerintahan umunya dan khusunya bagi pemerintahan desa.
4.       Dalam mewujudkan pemerintahan desa yang sesuai dengan latar belakang sejarah dan adat istiadatnya, maka diperlukan pola penanaman nilai, dan pewarisan nilai budaya yang dipelopori oleh para pemimpin baik pemimpin formal maupun pemimpin informal (adat) yang ada di desa.  Proses penanaman dan pewarisan nilai budaya hanya akan berjalan apabila para pemimpin mampu menjadi teladan, dalam membangun ketaatan dan kepatuhan bagi para pengikutnya. Pola kepengikutan masyarakat terhadap pemimpin yang masih paternalistik dan karismatik, membutuhkan pemimpin yang konsisten, tegas, dan memegang teguh norma-norma budaya. Untuk itu pertama-tama harus dimulai dari para pemimpin adat ( Mosalaki ) untuk menjadi teladan dalam mewariskan nilai-nilai budaya, kemudian diikuti para pemimpin formal untuk memfasilitasi  proses penanaman dan pewarisan nilai melalui proses pendidikan, pelatihan, pengajaran, dan pengembangan kepribadian.
5.       Penataan struktur organisasi pemerintahan desa hendaknya  ditata kembali dengan merujuk kepada susunan masyarakat desa yang bersangkutan. Untuk  itu pemerintah daerah hendaknya memiliki komitmen dan kemauan politik untuk melakukan pembinaan kepada aparat pemerintah desa dengan menyediakan dana dan sarana yang memadai guna mendukung aparat pembina di daerah  dalam membangun keberdayaan aparat pemerintah desa dalam mengelola pemerintahan desa.
6.       Penguatan kembali lembaga-lembaga adat yang telah ada di dalam masyarakat desa mutlak perlu  dengan mengembangkan asas-asas solidaritas dan kekerabatan  dalam komunitas-komunitas masyarakat desa. Perlu dilakukan revisi pendekatan dalam pemerintahan dan pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat dan budaya lokal, melalui reposisi lembaga-lembaga adat  secara proporsional dengan melibatkan lembaga-lembaga adat dalam mekanisme dan prosesdur pembuatan kebijakan publik, terutama pada tataran formulasi, implementasi, evaluasi dan kontrol.
7.       Agar pembinaan pemerintahan desa semakin diintensifkan dengan pembuatan kebijakan yang memperkuat otonomi desa bukan melemahkan seperti kebijakan mengarahkan desa untuk secara perlahan menjadi kelurahan sehingga mematikan nilai-nilai keaslian masyarakat desa, dan melemahkan semangat otonomi desa. Dengan kata lain kebijakan tentang pemerintahan desa harus mengarah kepada penguatan komunitas-komunitas lokal yang otonom, untuk menjadi unit pemerintahan yang berlandaskan kepada konsep civil society, dan good governance.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Bolong, Bartholomeus. 2003. Problema Pembangunan Masyarakat Lokal. Yogyakarta : Yayasan Kanisius.

Eko, Sutoro, 2003, Revitalisasi Demokrasi Komunitarian                                              < http://www.ireyogya.org > . Institute for Research and Empowerment ( IRE) Yogyakarta. Jumad, 25 Juni 2004.

Horton, B. Paul. & Chester L. Hunt.  1999. Sosiologi. Alih Bahasa : Aminudin Ram & Tita Sobari. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Kleden, Ignas.  2001. Menulis Politik, Indonesia Sebagai Utopia. Jakarta: Penerbit Kompas, 

Kuper, Adam. & Jessica Kuper.  2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta.: Penerbit Raja Grafindo  Persada.

McIver, R. M.  1981. Jaring-Jaring Pemerintahan, (Jilid 1,2 ). Terjemahan: Laila Hasyim. Jakarta : Penerbit Aksara Baru.

Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernology  ( jilid 1 dan 2 )  Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

------------------------ 1984. Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Jakarta : Penerbit : Bina Aksara.

Roucek. and Warren. 1964. Sociology an Introduction, New Jersey : Littlefield, Adams & Co. Paterson.

Ryaas, Rasyid Muhammad. 1997. Makna Pemerintahan.  Jakarta : Penerbit Yarsif Watampone.

Saefullah, A. Djadja. 1999. Konsep dan Metode Pelayanan UmumYang Baik Publik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Reformasi Pelayanan Umum. Bandung :UNPAD.

Sareng Orinbao, P. 1992. Tata Berladang Dan Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio,  Ende Flores : Penerbit PT. Arnoldus Nusa Indah

Soemardjan, Selo. 1992. Otonomi Desa, Apakah itu ?. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Nomor 2 / 1992, Pusat antar Universitas Bidang Ilmu-Ilmu Sosial UI ( PAU-IS-UI). Jakarta : Penerbit  PT Gramedia Pustaka Utama

Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi suatu Pengantar, Jakarta : Penerbit Rajawali Press.

--------------------------. 2003. Hukum Adat Indonesia.  Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada.

Soepomo,  1996.  Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Penerbit  Pradnya Paramita.

Strong, C.F.  2004. Konstitusi-Konstitusi  Politik Moderen. Terjemahan SPA Team Work. Bandung : Penerbit Nuansa dan Nusa Media.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.






[1] http://www.ireyogya.org. Sutoro Eko.Institute for Research and Empowerment ( IRE) Yogyakarta. Revitalisasi Demokrasi Komunitarian. Jumad, 25 Juni 2004.


PEMBANGUNAN EKONOMI


PEMBANGUNAN EKONOMI MENCIPTAKAN PERTUMBUHAN, MENUJU PERUBAHAN GUNA MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN.

BASIS PEMBANGUNAN NASIONAL ADALAH PEMBANGUNAN DAERAH YANG BERTUMPU PADA PEMBANGUNAN SOSIAL DENGAN LANDASAN PADA PEMBANGUNAN  MASYARAKAT

KEMANDIRIAN MASYARAKAT DI BIDANG EKONOMI AKAN MENCITRAKAN KEMANDIRIAN DAERAH DALAM MEWUJUDKAN BANGSA YANG KUAT DAN MANDIRI


RAKYAT SEJAHTERA DAN MAKMUR SECARA EKONOMI
MENCIRIKAN DAERAH YANG MAJU DAN MANDIRI
SETARA DENGAN OTONOMINYA YANG KUAT DAN LUAS

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PEMERINTAHAN DAERAH HENDAKNYA MENEMPATKAN   PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH  SEBAGAI TONGGAK  BAGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN DI DAERAH SESUAI TUNTUTAN OTONOMI DAERAH DAN TUJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL









PERENCANAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERENCANAAN PEMERINTAHAN DAERAH
 MELALUI SEBUAH FORMULA  PERENCANAAN STRATEGIS

Salah satu persoalan serius yang terjadi dalam pembangunan daerah  dari waktu ke waktu dan berdampak pada lambatnya  kemajuan di daerah adalah “ kontinuitas program atau  sustainabilitas pembangunan pada beberapa periode yang masih rendah”.  Hal ini ikut disebabkan oleh efek politik yang  secara disadari  atau tidak, melekat pada diri setiap  regim kekuasaan yang ada di daerah  yang pernah berganti setiap lima tahun.  Perubahan regim kepemimpinan pemerintahan daerah secara ideologis kadang juga ikut mengubah haluan pembangunan. Ada kecendrungan memutus rantai rencana program pembangunan dari regim ke regim, sehingga pembangunan dari waktu ke waktu antara regim yang satu dengan yang lainya terkesan mengalami inkoneksitas  terutama pada tataran penetapan kebijakan dan strategi implementasinya. Setiap regim berganti selalu  diikuti dengan perubahan konsep pembangunan pada tataran operasional teknis.  Regim manapun, siapapun pemimpinnya, dengan cara bagaimanapun,  semua bermuara pada visi yang satu dan sama yaitu : menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat. Dengan demikian tuduhan subyektif di atas dapat ditepis karena persoalan itu hanya berubah pada penggunaan cara dan alat ( vehicles dan methods ). Disisi lain tuduhan subyektif diatas mengemuka sebagai konsekwensi logis daripada kegagalan dalam menarik suatu jaringan konsep pembangunan berkelanjutan, dan interkoneksitas  generasi  pemimpin daerah pada berbagai regim. Persoalan ini  secara empiris diarahkan kepada pemerintah daerah-pemerintah daerah  produk orde  lalu, yang masih memiliki patologi orde pembangunan dengan sifat pemerintahan sebagai sebuah “ruling process” sebagaimana menurut Ryass Rasyid dimana ketergantungan pemerintah dan masyarakat  terhadap sebuah sistem kepemimpinan yang sangat tinggi sehingga membuka ruang gerak  pemimpin yang terlalu leluasa dan dominan  dan sebagian  besar kebijakan pembangunan daerah merupakan akumulasi dari keinginan politik pemimpin bersama kroni-kroni, bukan akumulasi dari seperangkat kebutuhan khalayak banyak.  Kebijakan pembangunan memang populer tetapi sangat tidak mengakar pada kebutuhan rakyat  alias tidak populis.
 Penyakit pembangunan  terurai diatas sebenarnya sudah cukup akut, ibarat pohon tua yang bila dipaksa untuk diluruskan akan patah  atau  tumbang. Untuk mengobati penyakit ini hanya akan ampuh melalui penataan managemen pemerintahan dan pembangunan  yang dilakukan oleh sebuah generasi baru  yang memiliki sebuah sistem sosial perdana dan pertama. Atau apabila  hendak ditawarkan pada format pemerintahan daerah yang sedang ada, membutuhkan tekad yang kuat untuk membuat komitmen dan keberanian membuat keputusan  oleh para pemimpin daerah  yang visible.  Dalam managemen pemerintahan, permasalahan pembangunan diatas sebenarnya sangat ditentukan oleh kemampuan sebuah “pemerintahan daerah “ dengan sistem kepemipinan yang handal dan visible. Managemen strategis yang sedang dikembangkan saat ini merupakan respons positif untuk mengobati patologi  pembangunan dimaksud. Pada tataran praktek, implementasi managemen strategis dalam pembangunan pemerintahan harus berjalan secara berangkai dalam sebuah jaringan waktu dan regim secara kontinyu dan sustainable. Dalam  konsep Kybernologi, dan mengikuti semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004,  prof. Taliziduhu Ndraha menawarkan sebuah formula  perencanaan  pembangunan di daerah yang bila dipraktekan akan dapat  menjawab permasalahan di atas.
Formula ini adalah sebuah hasil kajian teoritik Prof.  Taliziduhu Ndraha, perintis Ilmu Pemerintahan Baru “Kybernologi”. Uraian aksiologisnya akan terurai dalam tulisan sederhana ini. Konsep  dan formula  yang hendak diuraikan dibawah ini akan lebih tepat bagi daerah-daerah baru hasil pemekaran yang memulai perencanaan pembangunanya mulai dari awal.  Katakanlah Kabupaten baru mekar dari Ngada “Sabu Raijua”  yang baru saja diresmikan. Lebih tepat lagi apabila memulai dengan menetapkan perencanaan pembangunanya dengan konsep-konsep dan produk kebijakan di bidang perencanaan aktual antara lain Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.  Melalui lima pendekatan  dalam Perencanaan Pembangunan Nasional yakni :  politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah dan bawah- atas,  Pemerintahan Daerah harus mampu membangun sebuah jaringan pembangunan yang mengikat  empat regim pemimpin kedepan selama 20 tahun. Strategi pembangunan harus direncanakan oleh seluruh rakyat di daerah, lalu dimandatkan kepada Pemerintah daerah untuk dilaksanakan. Rakyat menetapkan visi dan misi pembangunan selama 20 tahun  yang terumus dalam RPJPD, lalu diamanatkan kepada empat regim untuk dilaksanakan secara berangkai dan berkelanjutan melalui RPJMD, lalu keempat regim tersebut harus merumuskan rencana tahunannya melalui RKPD.  Konsep ini terumus dalam formula “ 20 : 4  = 5 “. Pembangunan jangka panjang 20 tahun dibagi ke dalam empat regim yang memerintah selama lima tahun. Setiap regim harus bertanggungjawab selama lima tahun dan setiap tahunnya, untuk mewujudkan visi dan misi daerah dengan membuat visi/misi lima tahunan dan visi/misi tahunan. Konsep ini hendak menggugah siapa saja yang pernah berjuang untuk  Sabu Raijua agar berjuang lebih populistis, tidak untuk populer dan mengejar  kepentingan  pribadi.  Pahlawan Sabu Raijua disini adalah pribadi-pribadi yang memiliki jiwa heroik dan elegan dalam menggalang dan menggerakan rakyat Sabu Raijua untuk sejak dini merumuskan sebuah visi/misi Sabu Raijua 20 Tahun pertama. Visi terumus adalah visi daerah, visi masyarakat, yang harus dilaksanakan oleh pemimpin daerah dari masa ke masa oleh regim manapun dari era ke era. Siapapun Bupati yang bakal terpilih dan kelompok elit politik yang akan duduk di kursi DPRD pertama, harus secara promethean menghimpun semua rakyat Sabu Raijua dalam sebuah forum rakyat Sabu Raijua untuk merumuskan sebuah visi  yang lebih aktual bagi rakyat, bukan aktual bagi penguasa dan birokrasi saja. Artinya visi dan misi yang dibuat harus secara nyata merupakan visi  dan misi rakyat Sabu Raijua atau visi daerah sebagai akumulasi dari cita-cita seluruh rakyat di daerah, bukan visi dan misi Bupati secara sepihak. Praktisnya bahwa visi dan misi itu harus disusun oleh rakyat Sabu Raijua lalu disodorkan kepada  setiap kader yang berniat menjadi Kepala Daerah. Indikator calon bermutu adalah kemampuan menterjemahkan visi dan misi daerah ke dalam visi dan misi lima tahunan  dan tahunan oleh regim tertentu. Pada setiap regim lima tahunan dibuat kontrak politik dengan rakyat untuk menjalankan visi dan misi rakyat Sabu Raijua. Konsekwensi politis dan resiko  pemerintahan yang ditanggung harus terakumulasi dalam kontrak tersebut dan mengikat pemerintah daerah dan masyarakat. Jadi mula-mula sebelum dilakukan pemilihan kepala Daerah, maka  masyarakat Sabu Raijua harus merumuskan terlebih dahulu visi dan misi daerah.  Rumusan visi dan misi tersebut kemudian disodorkan kepada setiap pasangan calon kepala Daerah untuk menjadi dasar  kebijakan lima tahunan dan setiap tahun.  Dasar  obral dan janji politik setiap pasangan calon Kepala Daerah harus berangkat dari visi / misi daerah terumus, lalu diterjemahkan ke dalam visi/misi lima tahunan dan visi / misi tahunan. Setiap regim yang pergi dan datang  harus berangkat dari visi dan misi daerah, lalu pada setiap lima tahun selama empat regim bergulir, harus mampu menjabarkan visi daerah ke dalam visi kepala daerah. Pada tataran ini empat regim harus merupakan rangkaian  yang bergerak secara  terangkai tiada putus  menuju cita-cita di tahun ke –20. Regim pertama harus menjadi pelopor dan peletak dasar pembangunan, regim kedua merupakan koneksitas dan keberlanjutan dari regim pertama, selanjutnya regim ketiga, hingga pada regim keempat, harus tiba pada suatu suasana dimana rakyat telah mencapai kondisi kesejahtaraan dan kemakmuran  terukur sesuai dengan visi dan misi yang telah digelar.   Untuk mewujudkan formula ini, dikembangkan  pembangunan pemerintahan menuju sebuah “pemerintah yang baik  (good government} ” melalui dimensi pengembangan  SDM aparatur yang bermutu  yang memiliki  mental dan semangat  “promethean”, yaitu : anti tirani dan pembelajar. Setiap generasi yang memiliki cita-cita memimpin daerah harus sejak dini belajar  dan  setiap kader  harus memiliki ruang dan kesempatan seimbang   dalam bebagai forum politik dan pemerintahan guna mengembangkan diri  untuk ikut mewujdukan visi dan misi daerah.



Ende, 18 Februari 2007
Oleh : Drs. Martinus Satban, M.Si
PNS PADA PEMDA KAB. ENDE

PEMASYARAKATAN NASIONALISME INDONESIA DAN IDEALISME BUNG KARNO OLEH PERPUSTAKAAN NASIONAL RI UPT PRPUSTAKAAN BUNG KARNO KERJA...