Senin, 07 Desember 2009

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

Sejak perubahan paradigma tata pemerintahan daerah pasca Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah, salah satu hal yang sangat maju dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia adalah pelaksanaan pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung. Dimata bangsa-bangsa di dunia internasional, Indonesia sebagai Negara besar telah mengalami kemajuan pesat dalam hal berdemokrasi. Walau penilaian itu masih sangat subyektif, manakala kacamata penilaian itu masih sangat sepihak karena sejak pemilihan Presiden dan berlanjut pada Pemilhan beberapa Kepala Daerah di beberapa daerah di Indonesia telah meninggalkan persoalan yang tidak disadari sebagai bias dari cara yang sangat monopolistis dalam mengelola negeri ini. Secara proses kita berbangga, namun ketika output dari proses pemilihan Kepala Negara dan Kepala Daerah secara langsung itu harus ditempatkan secara tepat, tidak sebagai pelaku proses politik semata tetapi harus menjalani proses pemerintahan baik secara Nasional maupun Daerah. Oleh karena itu kriteria yang harus dilekatkan disini tatkala penjaringan calon pemimpin Nasional maupun pemimpin di daerah harus berdasarkan kriteria pemimpin pemerintahan lalu kriteria politik sebagai prasyarat dan format proses bukan syarat yang dibutuhkan sebagai suatu output. Syarat outputnya adalah syarat kepemimpin pemerintahan.
Kasak kusuk pencalonan Kepala Daerah sebagai sebuah proses politik, ternyata sering menyisahkan persoalan rumit dan memberi kesan heboh. Kepala Daerah dalam teori politik merupakan komponen dari struktur supra yang memiliki legitimasi kekuasaan secara absah untuk memegang tampuk kekuasaan eksekutif daerah. Kekuasan ini yang mendorong berbagai pihak untuk berlomba-lomba merebut kursi kekuasaan ini yang dalam konteks politik demnokrasi sah-sah saja. Dorongan dan nafsu ingin berkuasa ini sebenarnya berangkat dari adanya seperangkat nilai dibali kekuasaan itu. Walau sebenarnya menuju kekuasaan itu membutuhkan kerja keras, pengorbanan materi, dan harga diri. Katakanlah bahwa siapapun yang memenuhi syarat sesuai ketentuan perundang-undangan, memiliki hak yang sama untuk sebagai warga negara untuk dipilih menjadi kepala daerah. Argumentasi ini baru dilihat dari satu perspektif, dan kebetulan paradigma politik teraktual ( terbaca demokrasi ) telah memberi ruang leluasa untuk itu. Dan setiap kita merasa pantas dan layak saja untuk menjadi calon Kepala Daerah, terlepas dari patut dan tidak patut. Patut dan tidak patut inilah kadang memberi kesan bahwa dari sisi owner-self – politcian, seseorang harus menyadari dirinya layak atau tidak layak menjadi seorang pemimpin di suatu daerah, apalagi daerah disini adalah sebuah unit pemerintahan ? Kalau menyadari makna subyektif retorika ini dari kaum pesimis, tentunya ada unsur pesimisme, tetapi bila kesadaran akan makna kepemimpinan pemerintahan sebagai suatu fenomena sosial kultural bukan politik, maka ada nilai konstruktif yang akan dibangun oleh para peminat calon Kepala Daerah untuk berbenah diri menurut tuntutan kriteria sosial dari khalayak konstituennya selain kriteria menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Katakanlah seorang mantan narapidana yang telah bertobat, boleh-boleh saja mencalonkan dirinya menjadi Kepala Daerah karena memiliki seperangkat kapasitas politik namun akan menjadi gunjingan sosial yang tidak pernah ia dengar lalu terus maju dengan menutup telinganya ?. Secara normatif dan politis sah-sah saja, namun apa yang terjadi dibalik gunjingan sosial di tengah masyarakat kita. Sah dan pantas, tetapi tidak patut dan layak.
Menyadari akan susbtansi kepala daerah adalah sebuah sistem kepemimpinan, maka nilai-nilai kekuasaan yang melekat padanya sering menjadi spektrum, sehingga antara kekuasaan dan kepemimpinan, dipandang ibarat dua sisimata uang. Apakah seorang pemimpin tidak memiliki kekuasaan ?, atau seorang penguasa tidak memiliki nilai kepmimpinan ?. Ketika masuk ke dalam rana kebijakan, kekuasaan dan kepemimpinan adalah pilihan tindak. Kapan ia menjadi penguasa dengan membonceng jabatan pemimpin, dan kapan kepemimpinan itu dapat digerakan dengan menggunakan kekuasaan absah?.
Bila dilihat dari pendekatan proses, maka segala dinamika dan gerakan untuk menjadi Kepala Daerah adalah sebuah proses politik. Sedangkan output dari proses politik itu akan berfungsi dan berperan menjalankan sebuah proses pemerintahan. Dengan sebuah jabatan politik diharapkan seorang Kepala Daerah dapat ikut menjalankan pemerintahan daerah, yang dalam bahasa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan bahwa Kepala daerah dan perangkat daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah selain DPRD. Dengan demikian maka sebenarnya yang kita jaring melalui proses Pilkada adalah figur pemimpin pemerintahan daerah. Berbagai opini yang kita baca dan dengar melalui berbagai media, sebenarnya pesta pilkada yang akan datang dilakukan untuk memilih seorang pemimpin pemerintahan, bukan seorang kepala politik. Dalam teori pemerintahan, pemimpin pemerintahan yang kebetulan menjabat kepala daerah harus memiliki kemampuan transformatif sehingga mampu memiliki daya transfer sosial yang kuat untuk membalikan diri, status dan peranya dari situasi politik ke situasi pemerintah dengan segala sub kulturnya. Pemerintahan dalam versi Kybernologi adalah sebuah proses yang siklik dan transformatif, untuk itu pemimpinya harus memiliki kapabiltas transformasi nila dan memiliki kadar resiliensi yang tinggi karena akan menghadapi perubahan kultur dalam sistem yang baru ketika masuk dalam masa kepemimpinanya terutama menghadapi transformasi nilai. Global, nasional, regional dan lokal. Tentunya kepasitas dan kapabilitas ini bukan sesuatu yang mudah untuk diterapkan. Untuk itu setiap kader yang hendak bertarung dalam pesta pilkada harus memiliki konsep terhadap dirinya ketika menghadapi tuntutan kriteria-kriteria yang dipersyaratkan oleh masyarakat. Perkembangan opini akhir-akhir ini harus ditangkap sebagai warning untuk mengenal diri apakah pantas dimata publik pemilih atau tidak, terutama didaratkan pada kondisi riil wilayah. Pemerintah bukanlah sebuah target tuntas, tetapi sebuah fenomena sosial yang tidak pernah akan selesai, karena itu setiap kader yang berniat menjadi pemimpin pemerintahan, harus memiliki target pemerintahan bukan target politik, karena seorang pemimpin pemerintahan akan dihadapi dengan pola dan kultur pengelolaan suatu hubungan pemerintahan bukanlah sebuah hubungan kekuasaan. Kekuasaan adalah alat atau cara yang delegatif dan otoritatif, tetapi yang melekat pada setiap saat yang bersifat legitimate dan atributif adalah peran dan fungsi pemerintahan pada aseorang kepala daerah. Melalui jabatan Bupati sebagai jabatan politis, seorang kepala daerah akan mengelola sebuah pemerintahan daerah bersama DPRD. Oleh karena itu sudah saatnya measyarakat berkewajiban menentukan pemimpin daerahnya dengan menawarkan seperangkat kriteria sosial sercara subyektif dengan cara pandang bervariasi. Setelah membaca berbagai referensi, dan melihat fenomena empirik yang akhir-akhir ini berkembang, terutama tawaran kriteria sosial dan normatif bagi seorang calon kepala daerah, maka melalui tuisan ini kami mencoba menurunkan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan bagi setiap insan pemilih dalam menentukan pilihan atas calon pemimpinya, dan bahan renungan bagi kader daerah yang berniat maju bertarung menjadi calon pemimpin di daerah. Kriteria ini merupakan ramuan konseptual yang penulis ramu dalam sebuah refleksi pengalaman dan empiris sepanjang perjalanan karier.
1. Kita membutuhkan pemimpin yang visioner dan memiliki misi pengabdian total dalam pelayanan publik sebagaimana menjadi tuntuan pemiMpin di jaman ini.
2. Pemimpin harus hadir sebagai problem solver dengan mengedepankan peran fiasilitator, mediator, dan katalisator dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan pemerintahan.
3. Apabila pemerintahan adalah sebuah proses hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah ( hubungan pemerintahan ), maka kehadiran pemimpin dalam proses ini sebagai komunikator dalam hubungan itu secara dialogis dengan menjaga tata nilai-nilai organisasi, karena pemerintahan itu bukan monopoli kerja pemerintah semata tetapi merupakan bagian yang sangat integral dari pekerjaan pihak yang diperintah juga.
4. Komunikasi yang dibangun pada point 3 ( tiga ) di atas tentunya harus dapat merangsang dan membangun semangat inisiasi, kreasi, dan selalu menghargai pikiran arus bawah.
5. Sebagai seorang pemimpin, dalam menjalankan managemen kerjanya harus memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menggerakan seluruh kekuatan dan potensi yang ada, dan memanfaatkan kelebihan orang lain secara proporsional ( managerial skill )
6. Pemimpin pemerintahan adalah pemimpin yang sangat dekat di hati warganya dengan mengembangkan sikap : emphati, akomodatif dan antisipatif. Dengan demikian ia selalu mendapat respek, simpati, perhatian, dan kehadiranya tidak menjadi mangsa ( korban ) bagi pihak lain, tetapi merangsang keterlibatan utuh dan total dari pihak yang dipimpinya. Pemimpin yang kita harapkan harus selalu hadir bersama rakyatnya dalam setiap sisi kehidupanya baik secara simbolik maupun secara langsung. Pemimpin yang “ omni presen”
7. Pemimpin pemerintahan di era sekarang tidak dapat mengandalkan karisma politis dan populis semata, tetapi harus didukung dengan kemampuan iptek sehingga dapat menembus jaman ini dengan segala dinamikanya, serta memiliki konsep-konsep dasar yang aplikable, sehingga pada taratan global ia dapat melambung, pada tataran nasional ia menyambung, dan tataran regional ia merampung, dan pada tataran lokal ia mendarat..
8. Oleh karena pemerintahan adalah sebuah proses dengan berbagai subkulturnya yang sangat kompleks, maka seorang pemimpin pemerintahan harus memiliki kemampuan generalis ( mengetahui banyak hal walu sedikit-sedikit ). Oleh James Fox ciri pemimpin seperti ini disebutnya harus “all embrance” dan memiliki daya dan potensi unggul. Pemimpin yang “omni potens”.
9. Pemimpin pemerintahan sebagaimana pemimpin umumnya, pasti rentan dengan pengolahan kekuasaan ( takta), dan selalu diliputi dengan penghargaan materi yang menggiurkan ( harta ), serta selalu dikelilingi para manager yang siap memanage bos dengan cara yang manis dan gaya yang cantik ( analoginya dengan wanita cantik ). Artinya pemimpin yang kita harapkan harus tidak mabuk takta, haus uang, dan gila wanita. Dengan kata lain sejarah profil orang yang dipilih harus memiliki setting moral yang baik dan layak menurut kacamata moral dan etik sosial masyarakat.
10. Dengan melepaskan porsi diri untuk diabdikan kepada orang lain, maka pemimpin yang kita harapkan adalah pemimpin untuk semua. Maka itu pemimpin pemerintahan adalah pemimpin bukan untuk pemerintah tetapi untuk yang diperintah. Semangat yang patut dibangun adalah “aku dipilih untuk melayani bukan untuk dilayani.
Kriteria ini tentunya bukan sebuah tuntutan absolut, Karena pemimpin itu bukanlah malaikat, tetapi kriteria-kriteria ini akan sangat aplikable apabila pemimpin dapat menempatkan diri secara sistematik karena ia menjalankan kepemimpinan sebagai sebuah sistem bukan sebagai sebuah kekuasaan yang monoloyalistik. Kepada setiap warga yang telah memiliki hak pilih, maka dengan kecerdasan dan keterpelajaran kita akan berbagai pilkada yang telah lewat di berbagai daerah d tanah air, maka marilah kita mencari dan memilih pemimpin daerah kita yang pantas, layak, dan patut, bagi kita. Semoga

PEMASYARAKATAN NASIONALISME INDONESIA DAN IDEALISME BUNG KARNO OLEH PERPUSTAKAAN NASIONAL RI UPT PRPUSTAKAAN BUNG KARNO KERJA...