Kamis, 27 Agustus 2009

TRADISI PEMERINTAHAN DIANTARA PEMERINTAH-PEMERINTAH TRADISIONAL

TRADISI PEMERINTAHAN DIANTARA
PEMERINTAH-PEMERINTAH TRADISIONAL


Akhir-akhir ini pemerintah daerah sering dibuat pusing dengan berbagai persoalan sosial seputar masalah tanah. Tak ayal urusanya semakin rumit manakala masalah tanah itu ditarik ke dalam aspek budaya masyarakat adat. Tanah di Kabupaten Ende khusunya di kawasan Lio secara kultural merupakan bagian yang integral dengan masyarakat adatnya. Konsep yang melekat dalam hal ini adalah “cultural landschape heritage” . Orang Lio tidak dapat dipisahkan dengan tana watunya. Oleh karena itu ketika sebidang tanah yang pernah dan akan mengalami pengalihan status harus menghadapi proses kultural yang memiliki substansi sosilogis dan antropologis.
Sepintas, masyarakat adat Lio adalah suatu sistem kehidupan sosial-budaya yang terdiri dari empat komponen besar yaitu : Dua Nggae Lulu Wula Nggae Wena Tana,I sebagai unsur supreme being, Mosalaki sebagai pemimpin kolegial, tana watu sebagai pijakan kehidupan nyata, dan masyarakat adat yang disebut ana kalo fai walu. Sebagai suatu sistem kehidupan, masyarakat adat Lio sudah kerap menghadapi desakan masuknya sistem-sistem sosial eksternal lain yang sangat memberi warna perubahan secara kultural. Sistem masyarakat adat ini kemudian dipandang sebagai suatu bentuk pemerintahan asli, lokal, atau pemerintahan adat. Berangkat dari pendapat Ryaas Rasyid, maka sebagai suatu sistem pemerintahan ia memiliki tiga komponen pokok yaitu : adanya lembaga yang jelas, aturan hukum yang mengatur, dan digerakan oleh pemimpin yang sah baginya. Pandangan sistem kehidupan masyarakat adat Lio sebagai suatu bentuk pemerintahan tradisional menghantarkan kita pada sejarah pembentukan desa. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, desa diadopsi secara kultural dari unit-unit pemerintahan asli tersebut kemudian diproses secara politik untuk menjadi sub sistem dalam sistem pemerintahan. Ketika transformasi komunitas adat ini menjadi unit pemerintahan formal seperti desa atau sebutan lainya, terjadi pergseran makna yang lebih menekankan aspek politik sehingga seluruh persoalan yang timbul kemudian dipandang secara politis. Kajian untuk itu adalah include dalam kajian politik lokal. Elit politik dan birokrasi melihatnya sebagai bagian yang tidak tepisahkan dari proses politik sehingga beberapa persoalan kulutral yang terjadi sebagai bias daripada kebijakan pemerintahan, antara lain : masalah tanah, selalu menjadi komoditas politik, dan selalu akan memanfaatkan berbagai saluran politik yang ada untuk menyelesaikanya.
Konflik tanah yang akhi-akhir ini merebak diberbagai pelosok wilayah adat di Kabupaten Ende secara kwantitatif sebenarnya merupakan akumulasi keterpurukan kultural yang terjadi sebagai efek plus minus daripada kebijakan pemerintahan, dan dampak dari dinamika sosial yang tidak terkendalikan secara tak berbudaya. Secara kwalitatif konflik tanah yang terjadi di beberapa kawasan, merupakan hasil refleksi dari cara berpikir masyarakat yang sudah melampaui cara bepikir positifistik (sebab akibat/causalistik). Cara berpikir masyarakat sudah mengarah kepada tidak sekedar pada karena adanya sebab akibat tetapi lebih daripada itu, mereka telah menyadari suatu proses sosial yang harus diikuti secara cermat, karena ia tidak dapat digeneralisir, unik dan mengandung nilai-nilai tersendiri. Pada masa lalu proses penyerahan tanah berjalan tanpa persoalan berarti. Namun pada tahun-tahun teakhir ini menjadi persoalan yang begitu rumit. Mosalaki dengan otoritas kulturalnya menyerahkan kepada pemerintah, dan pemerintah dengan otoritas formal menerima sebidang tanah melalui ceremoni adat versi Mosalaki. Selanjutnya melalui ceremoni formal, pemerintah menetapkan produk legalitas antara hak dan kewajiban atas tanah menurut peraturan perundangan yang berlaku. Proses ini menghadapkan dua komponen sosial yang secara institusional harus dibedakan secara tegas. Mosalaki adalah pemimpin kolegial dalam sistem pemerintah adat. Pemerintah adalah unsur penyelenggara pemerintahan dalam sistem pemerintahan Nasional. Disini terbangun suatu tradisi bersama yang lebih banyak unsur konvensionalnya lalu diterapkan unsur literannya. Terapan tradisi literan ini kemudian mengalami pelemahan secara kultural manakala nilai formal yuridisnya menjadi semakin tidak kuat, padahal telah menjadi bukti hukum yang sah sekalipun telah ditandatangani oleh para pihak dan pejabat yang berwenang. Berbagai berita acara penyerahan tanah, sekalipun sertifikat tanah yang sah dan resmipun tak dihirauklan ketika persoalan tanah mengemuka. Orang Lio tidak akan mundur selangkahpun untuk mempertahankan tana watunya walau sudah diserahkan dan telah memiliki bukti hukum yang formal dan sah. Alasan kultural yang sudah lasim bahwa proses pemindahan hak atas tanah pada suatu masa lalu, tidak melibatkan unsu-unsur adat secara utuh. Pemilikan tanah di Lio umunya adalah milik persekutuan sehingga segala peristiwa yang terjadi di atasnya harus melibatkan seluruh komponen persekutuan yang ada. Bahasan ini tidak untuk membedah aspek hukum daripada pesoalan tanah, tetapi mencoba mengemukakan suatu analisis atas fenomena kultur dalam menghadapi masalah-masalah tanah yang akhir-akhir ini terjadi. Sistem kepemimpinan kolegial dengan struktur dan kewenangan konvensional sering menjadi persoalan. Pola pembagian hak garap, dan hak milik di atas tanah adat yang belum memiliki kekuatan hukum adat karena prosedur dan mekanisme kultural yang pernah dibuat melemah kadar resiliensinya, dan jarang dilakukan lagi. Mosalaki sebagai pemimpin adat kurang memiliki taring adat lagi karena kecenderungan sekularisme yang melemahkan unsur kekuatan magis dan kurang disegani oleh ana kalo fai walu. Cara berpikir masyarakat adat yang sangat didominasi oleh cara berpikir strukturalis dan normatif.
Lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan formal, dan rendahnya kadar pengakuan pemerintah terhadap sistem pemerintahan tradisional yang pernah ada, merupakan dasar terjadinya bebagai persoalan yang sering menghadapkan dua elemen sosial yakni : pemerintah formal dan pemerintahan adat. Persoalan tanah misalnya, kadang secara kwantitatif persentasi rumitnya sangat kecil bila dilihat dari perspektif pemerintah, namun bila dilihat dari perspektif kultur masyarakat adat yang bersangkutan begitu rumit. Hal ini didasarkan pada dua cara berpikir yang dilatari oleh setting kultur yang berbeda. Pemerintah daerah memiliki tradisi-tradisi dalam menyelesaikan berbagai masalah pemerintahanya. Sedangkan masyarakat dalam kapasitasnya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat ( pemerintah adat), sudah memiliki berbagai kebiasaan dalam menyelesaikan masalah.
Dalam konteks Ilmu pemerintahan versi Kybernologi, pemerintahan dilihat sebagai suatu gejala sosial yaitu hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (hubungan pemerintahan ). Pengertian sosilogis ini menempatkan dua komponen utama dalam poses pemerintahan yaitu : pemerintah dan masyarakat sebagai pihak yang diperintah. Pola hubungan ini menunjukan bahwa antara pemerintah dengan masyarakat berada dalam kerangka interaksi yang tidak vertikal tetapi horisontal dengan menekankan aspek interdependency. Namun ketika pemerintahan dalam tataran normatif-praktis, pola ini mengalami pergeseran menjadi vetikal dan subordinat. Masyarakat tersubodinasi kedalam praktek otonomi dengan luasnya kewenangan formal pemerintah. Masyarakat terdominasikan ke dalam struktur pemerintahan formal sehingga otonomi daerah ini dipahami sebagai otonominya pemerintah bukan otonomi masyarakat. Budaya masyarakat kadang menjadi kambing hitam kegagalan pembangunan. Budaya dianggap sulit berubah.
Menghadapi pandangan demikian penulis menawarkan konsep “ revitalisasi sistem masyarakat adat yang selama ini ada menurut eksistensi dirinya”, dan rekontekstualisasi adat di dalam hubungan pemerintahan“ sehingga secara proporsional mereka memiliki trilogi ketaatan yang proporsional yakni kepada “ Tuhan, Kaisar, dan kepada leluhurnya”. Dalam penelitian di Lio Signe Howell mengatakan bahwa “orang Lio itu telah memberi kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah, dan selanjutnya kepada embu Mamo apa yang menjadi hak Embu Mamo (ancestor)”. Pemerintah secara organisatoris harus mulai membangun budaya pemerintahanya secara apolitis”. Secara inisiatif, semua masyarakat adat dan pemimpin adatnya harus memiliki komitmen mengembangkan potensi dan kekuatan budaya yang ada di dalam dirinya. Semua unit pemerintahan adat yang pernah ada hendaknya kembali dibina untuk menemukan jati dirinya dengan mengembangkan kebijakan pemerintah tentang pembentukan unit-unit pemerintahan lokal formal yang akomodatif terhadap unit-unit pemerintahan adat itu. Pemerintah daerah harus memiliki data dan peta budaya masyarakat adat di wilayahnya yang akurat dan rinci, sehingga nantinya dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Kebijakan pemerintah hendaknya menempatkan budaya sebagai input dalam proses pemerintahanya sehingga fenomena enklavisme dan ekslavisme dapat dibatasi secara proprsional. Artinya kehadiran pemerintah tidak menjadi barang asing bagi masyarakat, ( gejala enklavisme). Pemerintah jangan sampai menganggap dirinya sedang berada di dalam lingkungan masyarakat-masyarakat adat yang sangat asing baginya ( gejala ekslavisme).

PEMASYARAKATAN NASIONALISME INDONESIA DAN IDEALISME BUNG KARNO OLEH PERPUSTAKAAN NASIONAL RI UPT PRPUSTAKAAN BUNG KARNO KERJA...